Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem paling penting di Bumi dalam perannya menyerap dan menyimpan karbon. Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memiliki peran penting dalam upaya untuk menjamin perlindungannya. Hal itu didengar oleh delegasi yang menghadiri konferensi iklim tingkat tinggi COP 26 di Glasglow.
Dari 10 negara ASEAN, Indonesia merupakan negara yang memiliki luas lahan gambut tropis terbesar di dunia dan luas lahan gambut terluas keempat secara keseluruhan dengan luas lebih dari 20 juta hektare. Lanskap lahan gambutnya diperkirakan menyimpan 57,4 gigaton atau 65 persen dari total karbon dari total lahan gambut ASEAN. Disusul oleh Malaysia yang menyimpan 9,1 Gt atau 10 persen dari total lahan gambut.
Gambut, merupakan akumulasi daun, cabang dan bagian lain vegetasi yang tetap utuh terendam dalam air, atau yang lebih dikenal sebagai “rawa”. Selama berabad-abad, akumulasi ini dapat mencapai kedalaman hingga beberapa meter, menyimpan sejumlah besar karbon yang seharusnya dilepaskan ke atmosfer melalui peluruhan atau pembakaran. Jika ditotal, volume gambut tropis yang ada di Asia Tenggara diperkirakan lebih dari 1.300 gigameter kubik atau 77 persen dari volume tropis global. Cadangan karbon gambut di kawasan ini diperkirakan mencapai 68,5 gigaton, mengandung 11 hingga 14 persen karbon gambut global.
Angka ini mengesankan meski dengan sisi negatif. Emisi karbon dari degradasi gambut akibat pembukaan lahan dan drainase telah menyumbang 1,3 hingga 3,1 persen emisi CO2 global dari pembakaran bahan bakar fosil. Selain itu, api gambut yang sulit dipadamkan — dari penyebab alami atau akibat pembakaran lahan yang dikeringkan untuk pertanian — telah menjadi sumber emisi besar dalam bentuk asap beracun atau yang disebut sebagai “kabut” selama beberapa dekade terakhir. Saat ini, berbagai upaya yang dilakukan telah secara substansial mengurangi fenomena ini, setelah terjadi peristiwa yang diperkirakan telah menyebabkan 100.000 kematian dini di wilayah tersebut akibat kabut asap lintas batas, penutupan sekolah, bisnis, dan aktivitas masyarakat hingga asap menghilang setelah beberapa pekan.
“ASEAN menempatkan perubahan iklim sebagai agenda utama, dan seluruh negara anggota ASEAN menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim dan Perjanjian Paris,” tutur Vong Sok, Kepala Divisi Lingkungan, Direktorat Pembangunan Berkelanjutan, Komunitas Sosial Budaya ASEAN Departemen Sekretariat ASEAN yang berbasis di Jakarta. “Dalam satu dasawarsa terakhir, negara anggota ASEAN telah menunjukkan komitmennya dalam upaya mencapai Komitmen Kontribusi Nasional (NDCs) dengan mengurangi emisi nasional. Lahan gambut memiliki posisi penting dan potensinya dalam memberikan solusi sehat berbasis alam belum sepenuhnya terwujud, terutama kontribusinya pada NDCs dan adaptasi perubahan iklim.”
Vong Sok membuka acara lain berjudul Pentingnya Lahan Gambut ASEAN bagi Kontribusi Mitigasi Perubahan Iklim Global, sebagai bagian dari rangkaian dua hari di Paviliun Lahan Gambut pada COP26.
Seri ini diselenggarakan bersama oleh Sekretariat ASEAN dengan dukungan dari Aksi Terukur bagi Pengelolaan Lahan Bebas Asap Berkelanjutan dalam Program Asia Tenggara yang didanai oleh Dana Pembangunan Pertanian Internasional dan Pemanfaatan Lahan Gambut dan Migitasi Asap Berkelanjutan.
“Sebagai bagian dari rencana Indonesia 2020-2049 untuk melindungi lahan gambut, kami telah memulihkan sekitar 3,6 juta hektare yang dilakukan terutama oleh pemegang konsensi – 249 konsesi terbagi dalam 70 hutan tanaman dan 224 perkebunan kelapa sawit – dengan sekitar 10.800 stasiun untuk pemantauan ketinggian air yang didirikan di dalam konsesi,” papar Budisusanti, Direktur Pengendalian Degradasi Lahan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kami terus memantau ketinggian air di lahan gambut sebagai bagian dari proses pembasahan dan pemulihan ekosistem. Selain di wilayah konsesi, kami telah membawa 46.000 hektare wilayah masyarakat di bawah program Desa Mandiri Gambut. Penduduk berpartisipasi langsung dalam perlindungan dan pengelolaan lahan gambut dan pada saat yang sama berperan dalam meningkatkan mata pencaharian.”
Budisusanti menyoroti pentingnya dukungan finansial dan teknis dari lembaga dan negara penyumbang, khususnya dalam pengembangan sistem pemantauan utama, siMATAG-0.4m yang dapat diperluas dari satu negara, referensi silang citra satelit resolusi tinggi dengan pengukuran lapangan untuk memastikan akurasi dan mengurangi klaim yang kurang tepat. Program ini juga melakukan pekerjaan hidrologi yang utama seperti memblokir bekas saluran drainase untuk membasahi kembali gambut, dan melatih ratusan fasilitator masyrakat untuk membantu masyarakat menyesuaikan praktik pertanian dan kehutanan mereka.
“Sangat mudah untuk memahami mengapa lahan gambut sangat penting untuk mitigasi,” kata Thibaut Portevin, Kepala Kerjasama Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan ASEAN. “Gambut adalah penyerap karbon paling efisien di bumi ini, 3 persen lahan, 30 persen karbon. Dengan tidak terganggu, mereka menyimpan gabungan semua jenis penggunaan lahan lainnya. Lahan gambut merupakan ekosistem yang unik, menyediakan habitat beragam bagi flora dan fauna yang unik. Melalui Deklarasi Kunming dan sekarang COP26, kita harus fokus pada lahan gambut. Meskipun penting, lahan gambut paling terancam dibanding hutan dan lahan basah. Konversinya berbiaya ekonomi tinggi dan seringkali tidak diperhitungkan, sepertipengurangan makanan dan sumber daya lainnya. Semua manfaat dan biaya ini harus diperhitungkan.
Portevin menjelaskan, peningkatan janji pendanaan iklim pada COP26 akan berkontribusi pada upaya perlindungan. Uni Eropa sendiri telah menyediakan 20 juta euro untuk kabut asap dan lahan gambut hanya untuk Program Pengelolaan Lahan Berkelanjutan di Asia Tenggara.
Mohammad Puat Dahalan, Direktur Senior Divisi Pengelolaan Hutan dan Direktur Program GEF6-SMPEM untuk Pemerintah Malaysia mencatat bahwa negara tersebut telah menepati janji yang dibuat di Konvensi Rio lebih dari 20 tahun yang lalu untuk mengabdikan setengah dari luas daratan untuk hutan. Dari 18 juta hektare, hanya 253.447 hektare atau 5,27 persen yang merupakan lahan gambut. Akan tetapi, mengingat urgensi bentang alam tersebut, lahan gambut telah lama masuk dalam rencana nasional perlindungan dan restorasi, dengan pencapaian yang substansial. Namun, tantangan tetap ada. Kebakaran merupakan ancaman yang selalu ada meskipun skala dan dampaknya menurun berkat efektifnya pengelolaan. Pemanfaatan lahan non-kehutanan lainnya, termasuk pesat pertumbuhan kawasan perkotaan, telah memberikan tekanan pada lahan gambut. Akan tetapi komitmen tingkat tinggi dari pemerintah dan negara bagian telah memungkinkan Malaysia mempertahankan luas gambut sesuai yang direncanakan.
Bagi anggota ASEAN lain, lahan gambut seperti kejutan. Bagi Fillipina, sebuah lokakarya di Malaysia pada 2005 menarik perhatian para ahli tentang kemungkinan keberadaan lahan gambut di negara mereka.
“Setelah lokakarya, kami memulai konservasi lahan basah di Agusan Marsh bersama masyarakat, dengan memberikan kesadaran dan informasi teknis. Dan kami menemukan lahan gambut,” kata Anson Tagtag, Kepala Divisi Gua, Lahan Basah dan Divisi Ekosistem di Biro Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. “Hal ini yang mendorong kami untuk memulai rencana aksi, setelah kami temukan lahan gambut lainnya. Kami mengidentifikasi sekitar 24 lahan gambut seluas 20.000 hektar, yang berarti sekitar 0,3 persen dari lahan hutan. Ini kecil tapi penting, terutama untuk emisi”
Pemerintah telah bekerja di berbagai lahan gambut bersama masyarakat untuk melindungi bentang alam, dan juga meningkatkan mata pencaharian lokal. Belajar dari Indonesia dan Thailand, divisi ini memastikan partisipasi langsung masyarakat dalam perencanaan tata guna lahan, ekowisata dan restorasi.
Bersama-sama mereka mengembangkan mata pencaharian ramah keanekaragaman hayati yang telah berkontribusi pada ketahanan lokal terhadap fenomena cuaca ekstrem. Misalnya, eceng gondok yang menjadi masalah di lahan basah, sekarang sudah dipanen dan dijadikan berbagai produk.
Kobsak Wanthongchai, Dekan Fakultas Kehutanan di Universitas Kasetart Thailand sepakat dengan Tagtag, kerja sama dengan masyarakat dalam mengelola ekosistem lahan gambut sangat penting untuk perlindungan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
“Masyarakat di sekitar hutan gambut dan orang luar melakukan pembalakan liar, membuka lahan untuk kelapa sawit dan tempat penggembalaan, atau membangun pemukiman, menguras air dan membakar,” katanya. “Ini mengarah pada degradasi, hilangnya keanekaragaman hayati dan pelepasan karbon. Tetapi hubungan manusia dan hutan gambut tidak dapat dipisahkan, mereka hidup bersama. Hutan gambut seperti bank makanan dan sumber pendapatan bagi masyarakat lokal. Jika mereka lapar atau butuh uang, mereka mengumpulkan makanan atau bahan yang bisa mereka jual.”
Untuk mengelola hutan secara lestari, Wanthongchai dan rekannya menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya melestarikan lahan gambut, menyediakan teknologi dan purwarupa serta membangun kerjasama lintas sektor, menyatukan para penduduk, peneliti, pemerintah dan sektor wisata. Melalui pengembangan tiga model kerja, tim telah menciptakan informasi strategi konservasi nasional, program pemuda, kampanye media, rencana pengelolaan, membangun kapasitas melalui “guru hutan” dan menemukan insentif, seperti mekanisme pendanaan dan pengembangan perusahaan kehutanan yang bergerak di bidang perhutanan non-kayu. Mereka juga telah menginventarisasi lahan gambut di Thailand dan menetapkan kriteria dan metode penilaian sebagai strategi nasional.
Sementara di Laos, sambil menjalankan fokus penting pada kesadaran dan partisipasi warga dalam perlindungan, pemulihan dan pengembangan mata pencaharian juga unik, tegas Khonesavanh Louangraj, Direktur Divisi Promosi Lingkungan Departemen Lingkungan, bagian dari Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
“Pengelolaan lahan gambut merupakan hal baru di Laos,” katanya. “Satu proyek dengan FAO, 2016-2021, yang fokus pada lahan basah, menemukan lahan gambut di dalamnya di Xe Champone dan Beung Kiat Ngong. Konservasi lahan gambut membutuhkan konservasi lahan basah melalui dukungan ketahanan pangan lokal yang layak dan mata pencaharian di dalam dan sekitar lahan basah”
Dia menuturkan, tantangan dalam menjaga lahan gambut adalah dengan mempertahankan seluruh fungsi lahan basah secara terintegrasi, membutuhkan pola banjir alami untuk mendukung habitat dan ekologi migrasi ikan asli. Cagar konservasi saja tidak akan cukup dilakukan secara terisolasi. Bendungan dan sawah tidak memberikan fungsi yang sesuai, dan ini meluas, katanya.
Solusinya bermacam-macam, seperti menyediakan pilihan mata pencaharian yang beragam; delineasi batas lahan basah (dan lahan gambut); menyusun perjanjian penggunaan air; memulihkan tempat penyimpanan, danau dan irigasi; memperbaiki sumur; menghentikan pembukaan lahan basah; mengendalikan spesien invasif; reboisasi daerah tangkapan; membangun pembibitan pohon dan ikan; melaksanakan perencanaan pengembangan hasil hutan bukan kayu; melakukan program perempuan; meningkatkan perencanaan penggunaan lahan; melakukan pemetaan banjir; survei area tangkapan; dan memantau tingkat dan penggunaan air.
“Jalan ke depan,” ujar Vong Sok dalam sambutan penutupnya, “Adalah memperkuat aksi iklim dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, khususnya, dengan mengembangkan dan menerapkan Strategi Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN (2021-2030) dan Rencana Aksi Nasional pengelolaan Lahan Gambut yang baru. Di negara-negara anggota ASEAN.”
Dimoderatori oleh Gita Syahrani, Direktur Eksekutif Lingkar Temu Kabupaten Lestari, sesi ini memberikan gambaran sekilas tentang pentingnya lahan gambut bagi negara anggota ASEAN dan secara global menawarkan kesempatan untuk bergabung bersama dalam investasi berkelanjutan perlindungan dan restorasi.
The post Lahan Gambut ASEAN: Urgensi dalam Mitigasi Krisis Iklim appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Tenure and governance research: Build on accomplishments under PIM to meet SDGs
Perú: Una plataforma científico-política para un REDD+ eficaz, eficiente y equitativo
Ensuring REDD+ finance delivers fair finance and benefits to meet climate goals
source https://forestsnews.cifor.org/75743/lahan-gambut-asean-urgensi-dalam-mitigasi-krisis-iklim?fnl=enid