Hari Hutan Internasional diperingati pada 21 Maret setiap tahunnya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya eksistensi ekosistem hutan di seluruh dunia. Tema Hari Hutan Internasional tahun ini yaitu “Forests and sustainable production and consumption“. Bagi jutaan orang di seluruh dunia, hutan membantu dalam menyediakan air bersih, sumber pangan kaya nutrisi, serta bahan baku tempat tinggal yang aman. Hutan dapat menyediakan sumber daya terbarukan dan lebih banyak hal ketika dikelola secara berkelanjutan.
Dalam rangka memperingati Hari Hutan Internasional, 21 Maret 2022, Kabar Hutan mewawancara Ilmuwan Senior CIFOR-ICRAF, Herry Purnomo, terkait pandangannya tentang peran penting hutan dan agroforestri dalam produksi dan konsumsi berkelanjutan.
T: Apa peran penting hutan dan agroforestri dalam produksi dan konsumsi berkelanjutan?
J: Peran penting hutan dan agroforestri atau wanatani sangat banyak. Hutan menghasilkan kayu, menghasilkan air, menghasilkan oksigen, dan pangan. Pangan dan nutrisi yang bisa dipanen dari hutan. Wanatani juga demikian, buah-buahan, oksigen, dan juga konservasi karbon.
Jadi perannya sangat banyak dalam mendukung produksi yang berkelanjutan. Produksi, konsumsi tentu di bagian lain, bahwa kita juga perlu berkonsumsi yang bijak, berkelanjutan tidak berlebihan, secukupnya, agar hal-hal itu bisa dipenuhi oleh hutan dan agroforestri.
T: Adakah skema ideal untuk mengedepankan produksi dan konsumsi berkelanjutan dalam ekonomi global?
J: Ada tentu. Sekarang kita di zamannya sertifikasi, jadi produk hutan dan wanatani harus certified, harus diperoleh dari hutan dan wanatani yang dikelola secara berkelanjutan. Sertifikasi banyak, ada kayu, ada kopi, ada juga sawit yang merupakan non-hutan secara global itu jalan, juga di Indonesia banyak yang lebih domestik, ada lembaga ekolabel Indonesia juga mandatory yang diendorse oleh Pemerintah Indonesia seperti SVLK.
Di dunia global tentu banyak ya, ada green deals itu dari Pemerintahan Inggris dan EU ya itu juga menginginkan semua produk tidak mengakibatkan deforestasi, tidak beresiko terhadap hutan dan agroforestri. Banyak skema-skema global yang mendukung, baik produksi untuk producing countries maupun untuk konsumen. Dan kita tahu bahwa kelestarian dari suatu produk itu sangat tergantung juga dari behaviour dari produsen di market countries.
T: Seberapa penting produksi dan konsumsi berkelanjutan berkontribusi bagi pengentasan kemiskinan dan transisi menuju ekonomi rendah karbon?
J: Tentu, ketika produksi berkelanjutan, sustainable production, tentu itu jauh dari deforestasi, jauh dari emisi, dan tinggi di dalam sekuestrasi karbon, jadi karbon dikonservasi, di dalam hutan atau di dalam wanatani, dan tentu ini akan kontribusi banyak dalam pembangunan rendah karbon; bukan hanya rendah, tetapi zeroing.
Carbon emission itu juga target dari Pemerintah Indonesia untuk tahun 2060, kita benar-benar zero carbon emission, dan sejalan itu semua program-program pembangunan yang rendah karbon tadi harus juga mengentaskan kemiskinan. Caranya mudah, yaitu dengan mengembangkan model-model bisnis yang berbasis masyarakat seperti restorasi gambut, restorasi mangrove itu bisa dilakukan oleh perusahaan, bisa juga dilakukan oleh masyarakat secara bergotong-royong.
Kalau itu dilakukan oleh masyarakat, ini juga akan meningkatkan taraf hidup dari masyarakat, meningkatkan income, juga tentu meningkatkan kualitas dan sumber daya manusia. Jadi itu sangat berhubungan. Kita bisa di satu pihak zeroing carbon emission, di lain pihak juga mengikutsertakan masyarakat agar mereka menjadi pemeran utama dalam pembangunan-pembangunan rendah karbon.
T: Produksi dan konsumsi berkelanjutan berkaitan dengan rantai nilai. Seperti efisiensi sumber daya di sepanjang fase produksi termasuk ekstraksi sumber daya, produksi input antara, distribusi, pemasaran, penggunaan, pembuangan limbah, dan penggunaan kembali produk dan layanan. Bagaimana Bapak menanggapinya?
J: Rantai nilai itu harus efisien. Jadi kehilangan, misalkan dari hutan atau dari wanatani, dibawa ke hutan, dibawa ke gergajian itu harus efisien, sampai menjadi misalkan menjadi mebel itu juga harus efisien, dan juga meningkatkan nilai tambah bagi aktor-aktor tadi ya. Aktor-aktor yang berbasis lahan, seperti petani, petani hutan, itu harus mendapatkan bagian keuntungan, profit yang memadai, tidak hanya yang di industri besar, tetapi seimbang, jadi governance atau tata kelola dari rantai nilai itu harus bagus.
Tentu ini ditunjang oleh aturan-aturan pemerintah, baik di pemerintahan lokal maupun pusat, dan juga kontestasi antar aktor, sehingga kita di banyak hal sering dalam riset kami juga membentuk asosiasi petani, petani hutan, asosiasi perajin untuk apa? Agar mereka punya bargaining power ya, untuk memenangkan kompetisi sepanjang rantai nilai ini, sehingga mereka mendapat bagian yang memadai. Kalau misalkan di kasus Jepara kita membentuk asosiasi perajin kecil. Jepara kalau itu kuat ya, mereka berkelanjutan, tentu ada insentif menanam kayu dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
T: Bagaimana peran Indonesia terhadap kerja sama lintas aktor dan lintang kepentingan dalam isu ini? Terlebih Indonesia sebagai pemimpin G20.
J: Kerja sama global antar negara itu harus. Jadi, bagus Indonesia taking lead dalam G20, tentu ini memberi kesempatan Indonesia untuk bersama-sama negara yang lebih maju, bersama-sama sebagai market countries atau producing countries memastikan agar produk-produk yang masuk ke pasar mereka benar-benar tidak berhubungan dengan kerusakan alam, tapi malah meningkatkan sumber daya alam dan lingkungan kita.
Jadi, kerjasama itu suatu keharusan dan itu sudah banyak di UK, di Inggris Raya, itu ada namanya UK Forest Risk Commodity, sebuah aturan regulasi baru yang diharapkan negara lain bisa comply, comply juga harus tahap demi tahap. Tidak bisa negara maju memaksakan tanpa melihat kesiapan dari negara-negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia.
Jadi, perlu saling kesepahaman, pengertian bahwa kita sepakat, bahwa kita harus lebih green ya sepakat, tinggal timeline-nya kapan gitu ya. Dan mereka juga harus fair memberi insentif, kalau yang tidak jelas itu berapa, kalau ini lebih bagus, tentu harganya harus lebih fair.
G20 temanya Recover Together, Recover Stronger, post covid, jadi kita punya ekonomi normal baru ya, harapannya kerjasama lebih tinggi dalam bidang kehutanan dan wanatani, dan kerja sama antara producing dan market countries ini lebih lebih erat ya, lebih saling kesepahaman dan lebih pengertian, tidak satu boikot, satu campaign, tetapi lebih apa yang bisa dilakukan, dan kita sukses di dalam FLEGT, di dalam timber, itu kita sukses, kita dengan UK dan EU itu sukses, sepakat bahwa kayu-kayu Indonesia harus memenuhi kriteria tertentu dan bebas sekarang masuk ke market EU dan tentu UK.
Ini bisa diexpand ya komoditas lain seperti sawit, kopi, karet dan semuanya agar ada perjanjian bilateral yang saling menguntungkan, karena kita butuh pasar dan pasar juga butuh barang kita, itu yang kerja sama bukan saling meniadakan, tapi saling membesarkan.
Saya rasa ini kesempatan baik untuk bersama-sama kita menumbuhkan hutan, menumbuhkan agroforestri, demi banyak hal yang mengurangi bencana. Sekarang bencana dimana-mana ada, kita memitigasi bencana, beradaptasi dengan bencana. Hutan dan agroforestri bisa melakukan itu.
Kita menghadapi krisis iklim, hutan dan agroforestri punya sumbangan yang luar biasa. Kita ingin masyarakat lebih sejahtera. Hutan dan agroforestri punya sumbangan yang sangat jelas. Dunia sangat tergantung air, air dari mana? air dari hutan dan agroforestri, kita bisa ikut berkontribusi terhadap kesejahteraan manusia. Jadi, hutan perlu kita kelola, agroforestri kita kelola, kita konservasi, demi kemaslahatan kita bersama.
The post Hutan dan Agroforestri dalam Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Beyond the Green Revolution: Clearing a new path for Indian agriculture
Rethink policy approach to dynamic bushmeat trade to conserve wildlife
Kehutanan 4.0: Inovasi Teknologi pada Sektor Kehutanan
source https://forestsnews.cifor.org/76609/hutan-dan-agroforestri-dalam-produksi-dan-konsumsi-berkelanjutan?fnl=enid