DAS merupakan wilayah daratan yang menjadi satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya. Berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami.
Data Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam menunjukkan terdapat 30 kejadian bencana banjir di seluruh provinsi pada periode 2020-2021 dengan korban lebih dari 80 ribu jiwa.
Wilayah terdampak meliputi seluruh kabupaten dan kota, termasuk area yang direncanakan sebagai kawasan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
“Isu penting yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan sumber daya air di Kalimantan Timur (Kaltim) adalah masih lemahnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi (KISS),” ujar Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam, Mislan, dalam “Diskusi Kajian Pengelolaan DAS Mahakam” di Samarinda, Jumat (26/3/2022).
DAS Mahakam adalah DAS terluas di Kalimantan Timur dengan luas 7,6 juta hektare, panjang sungai utamanya adalah 920 kilometer. Alirannya meliputi wilayah Kabupaten Mahulu, Kutai Barat, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Kota Samarinda, dan sebagian kecil di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara.
Daerah tangkapan airnya juga sampai di Kalimantan Tengah dan diduga sebagian kecil di Serawak, Malaysia (Mislan dan Naniek, 2005). Meskipun tidak termasuk 15 DAS prioritas yang kritis dan mendesak dipulihkan di Indonesia, DAS Mahakam juga sudah mengalami penurunan kualitas air, peningkatan lahan kritis, pendangkalan, kejadian bencana banjir, dan kekeringan.
”Mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS Mahakam adalah keniscayaan,” ujar Mislan, yang juga pengajar Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman.
Upayanya harus mencakup keseluruhan aspek yaitu tata guna lahan, tata guna air, tata sosial ekonomi budaya, dan kelembagaannya. Pengelolaan DAS Mahakam merupakan tanggung jawab bersama dan harus dilaksanakan secara bertahap, terukur, berkelanjutan dengan pembiayaan yang cukup.
Salah satu prioritas dalam pengelolaan DAS ini adalah perlindungan dan pemulihan daerah tangkapan air melalui kombinasi vegetatif dan sipil-teknis, pengendalian perizinan pemanfaatan lahan, dan rehabilitasi daerah aliran sungai.
Pertimbangan prioritas tersebut, menurut Mislan, karena memperhatikan kondisi pendangkalan yang terus meningkat dan kekeruhan yang semakin tinggi di beberapa bagian Sungai Mahakam termasuk danau-danaunya.
“Diskusi Kajian Pengelolaan DAS Mahakam” juga menghadirkan Dosen Fakultas Geografi UGM, Nugroho Christanto sebagai narasumber. Diskusi ini menjadi bagian dari upaya menyelamatkan DAS Mahakam.
“Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan masukan secara ilmiah terhadap implementasi kebijakan dan rencana pengelolaan sumber daya air ke depannya, sesuai perkembangan daya dukung dan daya tampung lingkungan,” ujar Manajer Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara Niel Makinuddin.
Kepala Seksi Evaluasi DAS dan Hutan Lindung Mahakam Berau, Selly Oktas Hariany Ayub menambahkan, pengelolaan DAS dan pemulihan lahan kritis tidak serta merta bisa menyelesaikan isu DAS Mahakam.
“Aspek kelembagaan (perilaku kelembagaan) merupakan permasalahan utama dalam pengelolaan DAS,” ujarnya.
Aspek kelembagaan penting, karena bentang alam DAS bersifat lintas administrasi (batas DAS tidak bersesuaian dengan batas administrasi) dan lintas disiplin ilmu.
Dia menambahkan bahwa, tidak ada satu pun lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaan DAS dari hulu ke hilir.
“Koherensi sistem kelembagaan dapat mewujudkan keterpaduan dalam pengelolaan DAS,” tegasnya.
Keberadaan IKN baru di Kaltim akan mendorong akselerasi pembangunan, yang berimbas pada kenaikan populasi penduduk. Jika tidak dibarengi kebijakan pengelolaan sumber daya air yang tepat, dapat menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung sumber daya air yang ada di area IKN ataupun kawasan penyangganya.
Dalam konteks DAS Mahakam ini, YKAN terlibat dalam analisis ilmiah dan permutakhiran kajian-kajian sebelumnya yang dapat menjadi masukan pengelolaan DAS Mahakam.
Antisipasi kesesuaian daya dukung perlu ditanggapi secara serius, mengingat masyarakat di Kaltim sangat bergantung pada air permukaan/sungai. Kondisi geologi yang didominasi oleh lempung menyebabkan susahnya mendapatkan sumber daya air tanah dari akuifer dan kualitas air tanah yang cenderung asam.
Kendati demikian, bukan hal tidak mungkin bagi Kaltim untuk mengelola sumber daya airnya secara berkelanjutan dengan menggandeng seluruh pemangku kepentingan sebagai bagian dari langkah penerapan pembangunan hijau.
sumber: kaltimtoday