Lahir di kota kecil Cepu, Jawa Tengah, Daniel Murdiyarso tumbuh besar dikelilingi hutan jati. Walaupun beliau bisa membayangkan bagaimana bekerja di bidang kehutanan, ia tidak pernah menyangka akan mendedikasikan 30 tahun hidupnya untuk melakukan riset ilmiah dalam bidang ekosistem, lahan gambut, mangrove, dan perubahan iklim.
“Saat itu, saya hanya berpikir pohon-pohon besar hanya bisa digunakan untuk tujuan komersil,” ujar Murdiyarso, mengakui bahwa saat kecil, ia tidak memiliki kesadaran akan isu lingkungan.
Maju ke 2022, Murdiyarso menjadi ilmuwan Indonesia pertama yang menerima yang dianugerahi gelar doktor kehormatan oleh Fakultas Agrikultur dan Kehutanan Universitas Helsinki, Finlandia, sebuah penghargaan untuk kontribusi besar beliau dalam riset kehutanan pada 17 Juni.
Saat ini, beliau menjabat sebagai ilmuwan utama (Principal Scientist) di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) – Pusat Wanatani Dunia (CIFOR-ICRAF), tempat di mana beliau telah bekerja sejak 2003 – dan juga professor di Departemen Geofisika dan Meteorologi di Institut Pertanian Bogor (FMIPA – IPB) di Indonesia, tempat beliau mengajar sejak 1997.
Perjalanan karir beliau penuh petualangan. Banyak dari fieldwork yang beliau jalankan dilakukan dalam kondisi yang memiliki risiko tinggi, menerjang air dan lumpur setinggi leher di lahan gambut, dan mengunjungi hutan mangrove di Indonesia di mana gajah, harimau, buaya, dan ular menjadi tuan rumah, untuk mengumpulkan data dan menghitung cadangan ekosistem karbon biru.
Masih jelas dalam ingatan Murdiyarso, hari-hari saat dia masih menjadi ilmuwan iklim pertama di CIFOR-ICRAF. “Saat ini, perubahan iklim telah menjadi prioritas global. Tetapi ketika saya baru saja memulai di CIFOR-ICRAF, kami harus mendorong isu perubahan iklim untuk bisa menjadi bagian dari agenda, dan juga menghubungkan kehutanan dengan perubahan iklim.”
Dalam perjalanan karirnya, Murdiyarso telah memberikan kontribusi yang signifikan untuk perkembangan penelitian perubahan iklim di Indonesia dan juga internasional. Dalam dua dekade terakhir, beliau telah menerbitkan lebih dari 100 riset yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dan siklus biogeokimia, juga mengenai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sepanjang karirnya, beliau juga telah menerima banyak penghargaan bergengsi, termasuk Ahmad Bakrie Award (2010), Sarwono-LIPI Award (2018), dan Habibie Prize (2020). Sejak 2002, Murdiyarso juga merupakan anggota aktif dari Indonesian Academy of Sciences.
Ke depan, Murdiyarso berharap untuk menggunakan diplomasi iklim untuk mempererat hubungan antara Finlandia dan Indonesia melalui program akademik dan afiliasi penelitian dengan Universitas Helsinki, CIFOR-ICRAF, dan FMIPA – IPB.
“Universitas Helsinki merupakan universitas riset publik tertua dan terbesar di Finlandia, dan IPB merupakan salah satu universitas tertua di Indonesia. Kedua universitas memiliki sejarah panjang dalam Pendidikan Kehutanan dan Agrikultur,” ujar beliau, “Bagi saya, penghargaan ini merupakan awal dari perjalanan diplomasi dan pertukaran ilmiah.”
Murdiyarso, khususnya percaya bahwa restorasi lahan gambut – salah satu area riset beliau – bisa menjadi katalisator. Meskipun ada perbedaan karakteristik antara properti di dataran tinggi dan lahan gambut di negara tropis, kedua negara dapat memulai dialog seputar pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
“Saya mendapati bahwa Finlandia, di masa lalu, memproduksi banyak gas rumah kaca dari lahan gambut yang dikeringkan dan diekstrasi untuk menghasilkan energi,” ujar beliau, “Namun, sebagai tindak lanjut dari Paris Agreement, Finlandia telah membagikan strategi jangka yang menjabarkan skenario dan peninjauan dampak yang berkaitan dengan target untuk melakukan netralitas karbon pada 2035, perkembangan emisi dan serapan pembuangan gas rumah kaca pada 2050.”
Kebijakan publik bukan lah suatu yang asing untuk Murdiyarso yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Lingkungan selama dua tahun pada 2020. Sebagai Penulis Utama dari Laporan Penilaian Ketiga IPCC dan Laporan Khusus IPCC mengenai Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan dan Kehutanan, ia memahami betul peran ilmuwan dalam mengembangkan kebijakan publik.
“Sebagai seorang ilmuwan di era modern, kita tidak hanya harus menghasilkan angka-angka atau ilmu pengetahuan, tetapi kita juga harus dapat menyampaikan gagasan,” kata beliau, “Untuk melakukan hal ini, ilmuwan harus dapat membangun jembatan, hubungan yang baik dengan stakeholder di sektor pemerintahan dan juga swasta.”
Sebagai contoh: Murdiyarso memanfaatkan pengalaman beliau di bidang ilmiah dan juga kebijakan publik untuk menjadi salah satu pencetus pembangunan World Mangrove Center Teluk Balikpapan (WMCTB) di Kalimantan Timur.
Indonesia adalah rumah bagi seperempat hutan mangrove dunia, membuat Indonesia mempunyai peranan penting dalam penelitian dan pengelolaan mangrove, termasuk dalam hal mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, perlindungan biodiversitas, dan pelayanan ekosistem.
“Indonesia sangat beruntung. Terlepas dari banyaknya bencana alam dan musibah lainnya, negara kita diberkati oleh banyak hal, termasuk ekosistem mangrove. Kita harus bijak dalam pengelolaan, jangan hanya memperhitungkan mangrove sebagai aset ekonomi,” jelas beliau.
“Setelah pembukaan pusat mangrove tersebut, tentu semua mata memandang Indonesia,” ujar Murdiyarso, “Harapan saya, WMCTB dapat membantu membuka kesadaran pentingnya mangrove, dan dampaknya untuk perubahan iklim secara global. Faktanya, hutan mangrove dapat menyimpan karbon lebih banyak dari tipe ekosistem terrestrial lainnya, yang berarti mangrove mempunyai peranan penting dalam memerangi perubahan iklim.”
The post Diplomasi Iklim Bagian dari Agenda Murdiyarso Berikutnya? appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Climate diplomacy up next for Murdiyarso?
Potensi Agrosilvofishery dalam Pemulihan Lahan Gambut
Dari Madu ke Kerajinan Tangan: Membentuk Mata Pencaharian Berkelanjutan di Sumbawa
source https://forestsnews.cifor.org/77910/post-ceremony-climate-diplomacy-next-on-murdiyarsos-agenda-2?fnl=enid