Sejauh kemajuan teknologi dan informasi dalam beberapa dekade terakhir, kita telah gagal mendukung kecukupan pangan bagi populasi global secara memadai, aman, bergizi, dan berkelanjutan.
Lebih dari 2 miliar orang mengalami ketidakamanan pangan; hampir 700 juta mengalami kekurangan gizi; dan 39% penduduk dewasa diklasifikasikan sebagai kelebihan berat badan atau obesitas.
Faktor signifikan dalam tantangan kesehatan ini adalah kurangnya keanekaragaman pangan: hanya 15 jenis tanaman yang menyediakan 90% dari asupan energi, dan tidak cukup produksi makanan yang kaya nutrisi beredar. Salah satu contohnya, hanya 40 negara, yang mewakili 26% populasi global, memiliki pasokan buah dan sayur yang cukup untuk mencukupi rekomendasi konsumsi harian.
Sementara itu, sistem pangan global kita menghasilkan lebih dari sepertiga emisi gas rumah kaca antropogenik global; menyerap sekitar 70% air tawar; dan bertanggung jawab atas sekitar seperempat pengasaman lautan, seiring dengan penipisan tanah yang serius dan perusakan habitat alami dan keanekaragaman hayati.
“Semakin jelas bahwa transformasi radikal dari sistem pangan akan mengakhiri kelaparan dan kekurangan gizi global sambil mengembalikkan kembali ke batas yang dapat diterima oleh kerusakan lingkungan yang telah disebabkan oleh sistem pangan kita,” kata penulis kolom Viewpoint terbaru yang dimuat pada jurnal terkemuka Lancet Planet Health edisi Juli 2022 “Sebuah sistem pangan global baru harus memproduksi lebih banyak makanan dengan beragam variasi yang padat nutrisi, alih-alih hanya menyediakan lebih banyak kalori. Selain juga harus memproduksi bahan makanan yang beragam secara berkelanjutan, membalikkan lintasan degradasi lahan saat ini, dan membuat produksi bertindak sebagai penyerap karbon bersih dan reservoir keanekaragaman hayati.”
Jadi, bagaimana kita dapat membantu untuk mewujudkan perubahan itu?
Seperti yang ditekankan oleh para penulis, pohon dan hutan memiliki peran penting.
Sampai saat ini, topik ini banyak diabaikan dalam percakapan transformasi sistem pangan “Karena ketiadaan pendekatan sistem pangan yang komprehensif dan menyeluruh terkait dengan pengukuran dan pencatatan berbagai kontribusi dari pohon dan hutan, serta fokus pada hutan sebagai sumber kayu daripada makanan… Sebuah perspektif yang kami anggap berbahaya jika direplikasi secara keliru dalam wacana masyarakat pembangunan internasional saat ini yang memandang pohon dan hutan sebagai penyimpanan karbon hutan semata,” tulis para penulis.
Jadi, bagaimana kita dapat membantu mewujudkan perubahan itu? Seperti yang disoroti oleh Viewpoint, pohon dan hutan mewakili bagian solusi yang penting, walaupun belum diakui.
“Kami terkejut dan kecewa, dari semua hal yang kami pelajari dan lihat mengenai pentingnya peran hutan dan pohon, hal ini tampaknya masih diabaikan” kata Amy Ickowitz, Penulis Utama dari studi tersebut dan Ilmuwan Senior di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF).
“Mengkonsevasi hutan dan mempromosikan pohon untuk ketahanan pangan dan nutrisi adalah beberapa cara yang jelas untuk mencapai ‘win-win solution’, yang jarang bisa didapatkan dalam mengatasi tantangan luar biasa dari malnutrisi global, berkurangnya biodiversitas, dan perubahan iklim,” katanya. “Tentu saja, ada hambatan — kelembagaan, ekonomi, dan logistik — namun semua ini dapat diatasi begitu ada kesepakatan bahwa sistem pangan harus didorong ke arah ini. Pada Viewpoint, kami menawarkan beberapa saran tentang bagaimana melakukan ini.”
Penyedia layanan senyap
Para penulis menarik perhatian kita pada berbagai cara pohon dan hutan berkontribusi terhadap pola diet sehat dan sistem pangan berkelanjutan. Tutupan pohon misalnya, telah dikaitkan dengan keragaman pangan yang lebih besar dan konsumsi makanan kaya nutrisi yang lebih tinggi seperti dari buah dan sayuran. Seluruh kacang, dan lebih dari setengah dari semua buah yang dikonsumsi manusia, tumbuh di pohon. Hutan menyediakan sumber pangan liar yang sangat penting — termasuk buah-buahan, sayuran, dan daging — untuk 1,6 miliar orang di seluruh dunia yang tinggal dengan jarak 5 kilometer dari hutan. Pohon dan hutan juga menyediakan makanan ternak untuk hewan, mendukung produksi daging dan susu.
Pohon dan hutan juga menyediakan bahan bakar kayu, yang merupakan sumber energi penting bagi sekitar 2,4 miliar orang untuk memasak, sehingga memungkinkan konsumsi makanan kaya nutrisi seperti daging dan kacang-kacangan. Pohon dan hutan juga menyediakan penghasilan yang dapat mendukung keamanan pangan dan nutrisi, seperti melalui budi daya dan penjualan tanaman pohon seperti kopi dan kakao; pekerjaan pada bidang penebangan atau ekowisata; serta mengumpulkan dan menjual hasil hutan non-kayu. Pertanian mendapat manfaat dari jasa ekosistem yang disediakan oleh pohon dan hutan, seperti pengaturan hama dan penyakit, habitat bagi penyerbuk, pengendalian iklim mikro, siklus air dan nutrisi, penyerapan karbon, perlindungan terhadap erosi tanah, dan fiksasi nitrogen.
Terlebih lagi, pohon dan hutan berkontribusi pada stabilitas dan ketahanan sistem pangan, misalnya, melalui kecenderungan untuk bertahan dari peristiwa cuaca ekstrim yang lebih baik daripada tanaman tahunan; peran dalam mendukung ‘musim paceklik’ melalui penyediaan makanan liar; kemampuan untuk mengisi kesenjangan musiman dalam produksi pangan; dan ‘jaring pengaman’ yang disediakan dalam menawarkan produk kayu dan non-kayu yang dapat dijual untuk mendapatkan penghasilan.
“Apakah dikonsumsi secara langsung sebagai makanan atau dijual untuk pembelian makanan, hasil hutan dan pohon, dalam banyak kasus, merupakan satu-satunya sumber daya yang dapat diakses oleh perempuan dan kelompok marjinal lain ketika kesulitan melanda, karena itu merupakan sumber daya utama untuk mengurangi kerentanan mereka,” kata para penulis.
Wilayah intervensi
Untuk memaksimalkan beragam manfaat inklusi pohon dan hutan secara lebih luas dan eksplisit dalam transformasi sistem pangan, penulis membuat empat daftar bidang utama untuk intervensi. Pertama, mereka merekomendasikan untuk membangun pengetahuan yang ada dengan meningkatkan skala solusi sistem pertanian berbasis pohon. Sebagian besar solusi ini belum diadopsi dengan skala yang cukup agar mampu memberi dampak, tetapi dapat dilakukan dengan dukungan yang tepat. Dalam banyak kasus, langkah ini akan membutuhkan keamanan tenurial pohon dan lahan, “yang belum dimiliki banyak penanam pohon,” tulis mereka.
“Agar efektif, langkah-langkah untuk meningkatkan kepemilikan lahan harus dikaitkan dengan insentif praktik berkelanjutan, termasuk pemeliharaan pohon di lahan pertanian.”
Pemicu untuk adopsi langkah-langkah wanatani juga ditemukan memiliki konteks yang sangat spesifik, menekankan pentingnya membangun pengetahuan lokal yang ada dalam segala jenis intervensi wanatani.
Kedua, para penulis merekomendasikan reorientasi investasi pertanian dari tanaman pokok ke makanan yang lebih beragam dan padat nutrisi.
Selama setengah abad terakhir, tanaman pokok — seperti gandum, jagung, dan beras — telah mendapat investasi miliaran dolar, sehingga meningkatkan produktivitas dan menurunkan harga pembelian dibandingkan dengan makanan yang lebih penting nutrisinya seperti buah-buahan, kacang-kacangan, dan sayuran. Dalam rangka meningkatkan konsumsi pangan ini, sangat penting untuk meningkatkan prodiktivitas dan menurunkan harganya, di samping edukasi dan pemasaran sosial untuk meningkatkan kesadaran mengenai manfaat kesehatan dan lingkungan dari pilihan makanan yang lebih baik.
Ketiga, adaya kebutuhan untuk mengarahkan ulang insentif produsen dan konsumen terhadap makanan padat nutrisi dan praktik produksi yang lebih berkelanjutan. Hal ini membutuhkan perubahan kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional. Saat ini, insentif seperti dukungan harga langsung dan subsidi pupuk yang ditargetkan mendistorsi produksi dari makanan pokok.
“Insentif seperti ini harusnya dapat dikurangi atau dihilangkan, selain itu intervensi harga langsung dan tidak langsung oleh pemerintah, yang dirancang untuk mempertimbangkan kebutuhan dampak nutrisi dan lngkungan, harus dilaksanakan,” tulis para penulis.
Subsidi semacam itu dapat direorientasikan untuk menghasilkan makanan kaya nutrisi dan mengintegrasikan pohon di pertanian.
Keempat, tujuan pangan dan nutrisi harus secara eksplisit diintegrasikan ke dalam praktik dan kebijakan restorasi dan konservasi hutan. Agenda restorasi hutan global hingga saat ini, sebagian besarnya didominasi oleh pertimbangan mitigasi karbon. Namun, inisiasi restorasi yang berfokus terlalu sempit pada tujuan itu — dan mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal — seringkali gagal. Menanam pohon pangan, lanjut para penulis, dapat membantu mengatasi berbagai tujuan sekaligus, mendukung keterlibatan lokal, dan mata pencaharian berkelanjutan di samping penyerapan karbon.
Seperti yang dijelaskan, pohon dan hutan telah berkontribusi positif terhadap pola makan dan ekosistem di seluruh dunia dan memiliki potensi untuk meningkatkan kontribusi tersebut lebih jauh untuk mengatasi berbagai krisis yang kita alami.
The post Kegagalan Sistem Pangan. Mampukah Hutan dan Pepohonan Mendukung Diet yang Lebih Baik untuk Semua? appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Asia and agroforestry: a systematic approach to policies and practices
Para Peneliti Mengisi Kesenjangan Pengetahuan tentang Menumbuhkan Biomassa untuk Energi
Global Aridity Index and Potential Evapotranspiration Database: updated!
source https://forestsnews.cifor.org/78669/kegagalan-sistem-pangan-mampukah-hutan-dan-pepohonan-mendukung-diet-yang-lebih-baik-bagi-semua?fnl=enid