Restorasi Lahan gambut: Menghubungkan Sains dengan Kebijakan dan Praktik

Restorasi lahan gambut berpotensi menjadi solusi untuk memberantas kebakaran lahan dan menghentikan produksi asap beracun dari bencana lingkungan tersebut, mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati, dan mencapai tujuan mitigasi krisis iklim global.

Namun, restorasi lahan gambut juga berkaitan dengan keuntungan-kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang sering menimbulkan perdebatan antar stakeholder yang memiliki kepentingan berbeda, termasuk perusahaan swasta, pemegang konsensi, komunitas, dan pemerintah daerah.

Terlepas dari keberhasilan restorasi lahan ketika melibatkan komunitas, tantangan untuk mempercepat proses restorasi lahan gambut terdegradasi terus muncul di Indonesia.

Drainase dan konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, terutama setelah rusak akibat kebakaran, menyebabkan kerusakan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang cukup besar.

“Menariknya, jika kita melihat faktor pendorong kesuksesan restorasi lahan gambut, kita menemukan 87% alasan dibalik kesuksesan itu adalah kesadaran masyarakat setempat, diikuti oleh keterlibatan masyarakat dan juga teknologi; faktor lainnya berada jauh di bawah,” ujar Robert Nasi, Direktur Pelaksana Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Pusat Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF), “Jadi keterlibatan masyarakat sangat penting, kesadaran masyarakat juga penting dan selanjutnya, tentu pelaksanaannya.”

Komitmen Indonesian untuk restorasi lahan gambut

Kepala Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ary Sudijanto menegaskan komitmen Pemerintah Indonesia dalam restorasi lahan gambut.

“Setidaknya selama lima tahun terakhir, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan kebijakan korektif untuk meningkatkan ekosistem lahan gambut di Indonesia,” jelas beliau, “Dapat dipastikan bahwa kebakaran lahan gambut telah berkurang secara drastis selama lima tahun ini. Proses pemulihan pasca-pandemi COVID-19 yang saat ini sedang berlangsung tidak hanya fokus dalam bidang kesehatan dan ekonomi, tetapi juga berupaya melibatkan isu lain yang berkaitan dengan lingkungan dan perubahan iklim.”

Sudijanto menyampaikan hal tersebut dalam simposium internasional yang berjudul, Restorasi Lahan Gambut Terdegradasi: Menghubungkan Sains dengan Kebijakan dan Praktik yang diselenggarakan oleh CIFOR-ICRAF, National Institute of Forest Science (NIFoS) Korea, dan Asia Pacific Association of Forestry Research Institutions, secara tatap muka di Kampus CIFOR-MoEF, Bogor, Indonesia dan virtual pada 13 Juni 2022.

Simposium ini menyoroti berbagai temuan terbaru hasil kerja kolaboratif CIFOR-ICRAF dalam restorasi lahan gambut untuk konservasi pangan, energi dan lingkungan di Kalimantan Tengah dan Sumatra Selatan, yang didukung oleh NIFoS.

“Pemerintah Indonesia bersedia membantu untuk mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius, “ kata Sudijanto, “Penyerapan bersih karbon di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FoLU) akan terus berlanjut. Sesuai dengan Strategi Jangka Panjang untuk Ketahanan Iklim Rendah Karbon 2050, Indonesia akan terus berupaya untuk mengurangi gas rumah kaca.”

Beliau menambahkan bahwa pemerintah juga telah menetapkan strategi dan panduanyang kuat untuk mencapai Net Sink di sektor FoLu pada 2030.

Keterlibatan masyarakat kunci kesuksesan restorasi lahan gambut 

Tetapi harus disadari bahwa upaya restorasi lahan gambut tidak dapat dilakukan dalam satu malam. Upaya ini memerlukan kesabaran dan juga keterlibatan semua pihak yang mempunyai perhatian dengan lanskap.

Hyun Park, Presiden NIFoS menyatakan,“Kita perlu memperluas cakupan, mengubah cara pandang, dan melakukan pendekatan lanskap, mempertimbangkan berbagai komponen, terutama masyarakat, dan mata pencaharian mereka. Hal ini merupakan faktor yang penting dalam melakukan restorasi lahan gambut. Upaya penghijauan lahan di Korea mengalami banyak kegagalan; menanam pohon itu mudah, tetapi … yang lebih penting adalah bagaimana caranya pohon tersebut dapat tumbuh dan bertahan hidup. Kita perlu menanam pohon dengan benar, memilih jenis pohon yang tepat untuk jenis tanah tersebut, menstabilkan tanah, dan melakukan yang terbaik untuk menumbuhkan mereka.”

Solusi iklim pintar 

Dalam kesempatan yang sama, Rujito Agus Suwignyo dari Universitas Sriwijaya mempresentasikan hasil awal dari penelitian yang dilakukan bersama CIFOR-ICRAF terkait dengan restorasi lahan gambut di rawa non-pasang surut di Sumatra Selatan. “Pertanian cerdas-iklim berarti pendekatan terpadu dalam mengelola restorasi lahan gambut, termasuk lahan pertanian, hutan, dan perikanan, yang menjawab tantangan ketahanan pangan dan perubahan iklim yang saling terkait, “katanya.

Beliau menambahkan tiga tujuan dari kegiatan ini: 1) meningkatkan produktivitas lahan; 2) meningkatkan ketahanan petani; dan 3) mengurangi emisi.

“Riset kami berada dalam proyek gabungan dengan CIFOR — Sustainable Community-based Restoration and Enterprise — yang didiukung oleh NIFoS dan dipimpin oleh Himlal Baral, Ilmuwan Senior Restorasi dari CIFOR-ICRAF,” jelas beliau, ”Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam di Sumatra Selatan.”

Ketika musim kemarau, lahan gambut yang telah kering menjadi sangat kering dan area tersebut dibakar untuk menanam padi, sebuah kegiatan yang disebut penduduk setempat sebagai sonor. Ketika musim hujan, area tersebut menjadi tergenang dan ditumbuhi rumput.

“Kami mengimplementasikan metode agrosilvofishery restorasi lahan gambut,” kata Suwignyo. “Pertama, kami meningkatkan prosen penanaman padi dan memperkenalkan tanaman lainnya, seperti sayur-sayuran dan nanas. Kedua, kami menanam beberapa jenis pohon. Ketiga, kami membudidayakan ikan lokal. Telah dibuktikan bahwa dengan metode budi daya kami dapat meningkatkan produktivitas padi dari 1,1 menjadi 3,69 ton per hektar. Saya percaya, kita dapat membuat produktivitas padi jauh lebih tinggi.”

Sri Parwati Murwani Budisusanti, Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara dengan lahan gambut tropis terluas di dunia, yang tidak hanya memberikan keuntungan untuk iklim melalui penyimpanan karbon tapi juga menyediakan berbagai dukungan jasa ekosistem, seperti pengendalian banjir dan pasokan air, dan tentunya, dukungan untuk kehidupan masyarakat melalui perikanan, pertanian dan tanaman. Masalahnya, Indonesia memiliki pengelolaan air lahan gambut yang belum sempurna, untuk mencegah dan antisipasi terjadinya hutan gambut mengering dan terbakar, juga surut, sehingga dapat memproduksi emisi dalam jumlah besar, banjir dan masalah lingkungan lainnya.

Objektif untuk bebas dari kebakaran hutan di masa depan merupakan tantangan untuk pengelolaan kebakaran hutan, hal ini dapat ditanggulangi jika kita dapat mengidentifikasi sanksi dan insentif yang tepat dan melibatkan petani kecil, usaha pertanian, usaha kecil dan menengah (UKM) dan investor. Keuntungan pribadi jangka pendek memberikan dampak jangka besar untuk masyarakat, tidak hanya untuk masyarakat sekitar tetapi juga terhadap iklim global.

Solusi yang dapat diwujudkan 

Reboisasi lahan terdegradasi dan marjinal dengan tanaman non-pangan telah diajukan sebagai solusi untuk menghindari kompetisi lahan dengan produksi pangan, yang dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dan mendukung ekosistem.

Budi Leksono dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia telah melakukan penelitian mengenai nyamplung (Calophyllum inophyllum), spesies tanaman yang memberikan banyak keuntungan dan membantu menyelesaikan masalah di lahan restorasi gambut.

“Nyamplung merupakan bukan tanaman asli lahan gambut, tetapi mudah beradaptasi dengan berbagai tipe lahan terdegradasi,” jelas beliau, ”Studi menunjukkan bahwa spesies ini dapat beradaptasi di lahan gambut terdegradasi di Kalimantan Tengah, dengan tingkat keberlangsungan hidup hingga 80%, membuat nyamplung dapat membantu untuk mengembalikan lahan gambut dan juga sebagai sumber biofuel terbarukan.”

“Keuntungan lain dari nyamplung adalah tanaman ini juga mendukung banyak barang dan jasa ekosistem, seperti keanekaragaman hayati dan habitat, penyerapan karbon dan pengaturan air. Tetapi, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengukur dan menilai jasa ekosistem yang terkait dengan pertumbuhan nyamplung di lahan terdegradasi dan adopsi untuk meningkatkan model ini.”

Selain beberapa keuntungan di atas, nyamplung juga ditemukan sebagai sumber kayu yang berharga dan bunganya dapat menarik lebah madu. Petani yang memelihara nyamplung di Jawa melaporkan bahwa pendapatan mereka dari minyak pohon tamanu lebih rendah dari yang diharapkan, tetapi penjualan madu memberikan keuntungan yang cukup baik.

Tantangan dalam meningkatkan skala

Indonesia memiliki komitmen untuk merestorasi 2 juta hektar lahan gambut sebagai bagian dari kontribusi yang ditentukan secara nasional dalam Paris Agreement untuk perubahan iklim. Setelah mengetahui apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan, tantangan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan skala sukses?

“Kita perlu menjawab pertanyaan: Konsekuensi apa yang dapat ditimbulkan jika kita mempunyai 2 juta nyamplung yang menghasilkan madu?” tanya Nasi. “Apakah ini akan memberikan dampak yang buruk terhadap pasar? Atau jika kita memiliki terlalu banyak perangkap ikan yang mungkin memberikan masalah keberlanjutan. Jadi, dengan asumsi kita berhasil, apa rencana kita untuk memitigasi konsekuensi ini?”

Afentina dari Departemen Perubahan Alam Universitas Palangkaraya memaparkan bahwa, dari sudut pandang ekonomi, rencana bisnis yang bagus penting untuk menghindari membanjiri pasar dengan satu jenis komoditas yang menyebabkan penurunan harga. Beliau juga mengatakan aspek penting lainnya adalah memberikan masyarakat pilihan dalam mengembangkan beragam produk produk berkelanjutan yang dapat menghasilkan pendapatan jangka pendek, tengah dan panjang.

“Kita juga harus memberikan insentif terhadap ekonomi hijau,“ tambahnya, ”Kita memerlukan inovasi produk yang dapat memenuhi permintaan pasar dan juga memberikan akses terhadap pasar. Di sini hambatannya. Kita juga perlu menguatkan kapasitas penduduk lokal, melatih mereka untuk menghasilkan produk baru yang baik.”

The post Restorasi Lahan gambut: Menghubungkan Sains dengan Kebijakan dan Praktik appeared first on CIFOR Forests News.


See the rest of the story at mysite.com

Related:
Swafoto untuk Keberlanjutan?
Peatland restoration: connecting science with policy and practice
One commodity, seven countries – and multiple impacts for legal timber


source https://forestsnews.cifor.org/78328/restorasi-lahan-gambut-menghubungkan-sains-dengan-kebijakan-dan-praktik?fnl=enid

Post a Comment

Previous Post Next Post