Swafoto untuk Keberlanjutan?

Anda mungkin belum pernah mendengar tentang Hutan Mangunan di Provinsi Yogyakarta, Indonesia, tetapi kemungkinan besar pernah melihatnya. Swafoto dari turis yang berpose di atas pos pengamatan dengan pepohonan yang rindang, hijaunya hutan sebagai latar belakang yang menakjubkan, perbukitan, serta aliran air yang berkilauan merupakan sorotan pada banyak kiriman foto di Instagram selama satu dekade terakhir.

Ditunjuk sebagai “Daerah Istimewa”, Yogyakarta adalah jantung budaya Jawa, yang memperkuat daya tariknya bagi wisatawan.

Namun, sebagai bentuk keindahan alam, popularitas Mangunan bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari upaya bersama sejak tahun 2011 oleh organisasi masyarakat setempat.

   Kereta Kencana di Bukit Panguk merupakan lokasi favorit "swafoto" di Hutan Mangunan, Yogyakarta, Indonesia. KPH Yogyakarta/Abd Aziz
   Matahari terbenam di Pinus Asri merupakan lokasi favorit “swafoto” di Hutan Mangunan, Yogyakarta, Indonesia. KPH Yogyakarta/Abd Aziz

Dipimpin oleh Purwo Harsono (Ipung) dan mitranya di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta yang dipimpin oleh Aji Sukmono Nurjaman, kawasan perlindungan hutan yang menakjubkan ini telah ditata sebagai destinasi yang “Instagrammable” – telah membantu hutan serta keluarga mereka yang juga turut berkembang.

Pada tahun 2016, organisasi ini dibentuk dan diberi nama Koperasi Noto Wono, yang mengarah pada pembentukan kemitraan formal bersama KPH untuk mengelola ekowisata berbasis masyarakat di Hutan Mangunan.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda, popularitas destinasi ini mengalami peningkatan, dengan jutaan pengunjung singgah setiap tahun.

Pendapatan anggota koperasi tersebut meningkat hampir dua kali lipat menjadi $500 per orang dari hasil memanen kayu jati di kebun mereka.

Pemerintah provinsi juga memperoleh pendapatan berdasarkan kesepakatan bagi hasil dengan koperasi. Kesepakatan ini memberikan 25 persen dari total pendapatan kotor, dan pemerintah menerima manfaat sebesar $140.000 (1,9 miliar rupiah) pada tahun 2017, dan jumlah tersebut tumbuh menjadi sebesar $160.000 (2,3 miliar rupiah) pada tahun 2018.

Sebelum pandemi, untuk mengantisipasi peningkatan jutaan pengunjung, KPH dan Noto Wono berupaya memitigasi risiko kerusakan lingkungan dengan memastikan pemanfaatan pariwisata dibatasi maksimal 10 persen dari total kawasan hutan.

Mereka juga mempromosikan pembentukkan usaha kecil hingga menengah untuk mengolah nilai tambah produk berbasis kehutanan, dan mendukung bisnis pariwisata untuk memastikan keuntungan tetap berada di masyarakat sebanyak mungkin.

   Pohon pinus di Hutan Mangunan, Yogyakarta, Indonesia. CIFOR-ICRAF/Ani Adiwinata

Kesuksesan dan pengakuan

Sekarang ini, kemitraan dipandang secara regional sebagai model pengelolaan berkelanjutan melalui pendekatan terpadu – bahkan, pada tahun 2021, Ketua Noto Wono, Ipung, memenangkan kategori “pelopor lingkungan” untuk Penghargaan Kalpataru tingkat nasional, yang mengakui capaian individu dan kelompok yang telah memberikan kontribusi nyata terhadap pelestarian lingkungan.

Penghargaan dari Pemerintah Indonesia ini merupakan pengakuan atas perjalanan selama 10 tahun, di samping berbagai penghargaan yang diraih inisiatif tersebut sejak tahun 2015.

“Dulu, akibat dari pembatasan pengelolaan sebagai hutan lindung, sebagian besar masyarakat sekitar Mangunan memperoleh penghasilan dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) dengan menyadap getah pinus, bercocok tanam, dan memelihara lebah; namun karena sedikitnya getah pinus yang tersedia, masyarakat setempat menjadi sulit untuk memenuhi kebutuhannya.” kata Aji Sukmono. Sebagai Ketua KPH, sejak awal ia telah bekerja erat dengan koperasi.

   Seorang petani lokal mengumpulkan getah pinus di Hutan Mangunan, Yogyakarta, Indonesia. Selebaran/KPH Yogyakarta

Pertumbuhan pengunjung ke daerah tersebut tidak hanya meningkatkan fokus pada ekowisata yang mengurangi tekanan pada HHBK, tetapi juga mendorong KPH dan masyarakat untuk meningkatkan inisiatif produksi agroforestri, madu, dan minyak kayu putih di wilayah pengelolaan hutan lainnya.

Secara keseluruhan, ekowisata berbasis masyarakat menjadi bagian dari strategi adaptif yang telah merubah kebijakan yang sebelumnya ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia. Kebijakan ini pada awalnya menetapkan Mangunan sebagai hutan produksi, dan kemudian sebagai hutan lindung yang membatasi peluang dan potensi ekonomi masyarakat setempat.

Purwo Harsono (lpung), Ketua Koperasi Noto Wono, memegang Penghargaan Kalpataru. Selebaran/Koperasi Noto Wono

Sekarang, di bawah kemitraan ekowisata, potensi ekonomi telah terbuka, baik masyarakat lokal maupun pemerintah provinsi mendukung inisiatif ini melalui kerangka kebijakan yang ditetapkan.

Lebih lanjut, “pergeseran dari ekstraksi HHBK ke ekowisata berbasis masyarakat telah menjadi strategi adaptif yang baik untuk memenuhi tujuan ekonomi dan kebutuhan mata pencaharian masyarakat lokal,” kata Ani Adiwinata, ilmuwan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Pusat Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF), sekaligus Koordinator Penelitian Tata Kelola Lanskap untuk Proyek Kanoppi, yang berupaya meningkatkan pendapatan petani kehutanan skala kecil melalui pengembangan, promosi, dan pemasaran kayu dan HHBK dengan lebih baik.

Koperasi Noto Wono secara eksplisit memperkuat posisi masyarakat lokal dalam upaya tersebut sebagai lembaga formal yang mewakili kepentingan mereka dalam pengelolaan ekowisata.

“Visi koperasi dengan 300 anggota ini  adalah merawat, melestarikan, dan melestarikan hutan untuk pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan guna mencapai kesejahteraan bagi anggotanya dan masyarakat pada umumnya,” kata Ipung.

   Anak-anak menikmati fasilitas pendidikan terbuka di bawah pohon pinus di Hutan Mangunan, Yogyakarta, Indonesia. Selebaran/Koperasi Noto Wono

Upaya bersama

Di bawah Kanoppi, CIFOR bekerja sama dengan tim dari Fakultas Kehutanan di Institut Sebijak Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Maryudi dalam mendokumentasikan proses panjang ini sebagai model studi kasus yang sukses untuk mengembangkan model bisnis inklusif berbasis kemitraan yang dapat mengatasi perubahan eksternal seperti pergeseran kebijakan nasional.

“Sepertinya mereka menemukan formula yang sukses dan berkelanjutan,” kata Maryudi.

Namun, koperasi diterpa perubahan. Aspek strategi adaptif yang inovatif harus lebih dieksplorasi untuk mengatasi gejolak akibat pandemi. UU Cipta Kerja terbaru telah memengaruhi perubahan peran dan tanggung jawab KPH sebagai mitra utama koperasi lokal.

“Badan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yogyakarta berupaya menjaga ekosistem hutan yang diharapkan dapat memberikan masyarakat penghidupan yang layak serta menekan angka kemiskinan melalui pengelolaan hutan berbasis tematik,” kata Kuncoro Cahyo Aji, Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yogyakarta, dalam acara talk show nasional virtual yang diselenggarakan oleh CIFOR-ICRAF dan Sebijak Institute pada akhir tahun 2021 tentang transformasi kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia.

Melalui Strategi Hutan Tematik, yang mengutamakan pembangunan ketahanan di hutan, sekaligus memperoleh manfaat ekonomi, sebagai contoh, Pemerintah Yogyakarta mendukung inisiatif pada pemanfaatan nangka. Dengan mendukung produksi nangka, gudeg sebagai menu favorit kuliner tradisional terus dikonsumsi oleh penduduk lokal dan turis, dan sekarang dibangun di sekitar inisiatif berkelanjutan dan usaha skala kecil, yang sebagian besar di tingkat rumah tangga. Pengembangan berbagai rantai nilai ini menawarkan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.

Dengan rangkaian hutan tematik, kita bisa lebih fokus pada pembangunan dengan tema yang telah ditentukan sesuai kondisi dan potensi daerah masing-masing, prinsip pemberdayaan masyarakat, dan kekayaan budaya Yogyakarta, seperti yang telah kita rintis di Mangunan, katanya.

“Dengan adanya perubahan kebijakan, para mitra berharap landasan yang telah dibangun akan membantu pemilik usaha regional, petani skala kecil, dan ekonomi untuk merespon secara dinamis terhadap setiap gangguan atau kondisi yang tidak terduga”, kata Adiwinata.

“Selama kami memiliki basis yang kuat dari model bisnis yang inklusif dan tangguh, kami berharap – apa pun yang terjadi di tingkat nasional – usaha ini akan terus memberi manfaat bagi perekonomian lokal dan regional,” tambahnya.

   Pohon kayu putih (Melaleuca cajuputi) kini menjadi bagian dari bentang alam di Mangunan setelah ditetapkannya status hutan lindung. CIFOR-ICRAF/Ani Adiwinata

Kegiatan proyek riset ini dilaksanakan oleh CIFOR dan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada untuk penelitian kolaboratif berjudul “Meningkatkan efektivitas model tata kelola terdepan dalam mendorong Pengelolaan Hutan Lestari: Studi Kasus di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta” di bawah Proyek Kanoppi. Kegiatan proyek ini didanai oleh Pusat Penelitian Pertanian Internasional Australia (ACIAR), dan dikoordinasikan oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Agroforestri Dunia (ICRAF) dalam mengembangkan dan mempromosikan opsi agroforestri berbasis pasar dan pengelolaan lanskap terpadu untuk petani kehutanan skala kecil di Indonesia.


Pengembangan cerita: Monica Evans dan Ani Adiwinata | Penyunting: Julie Mollins, Ani Adiwinata, Aji Sukmono B. Nurjaman dan Fatwa N. Susanti | Desain web: Gusdiyanto | Koordinasi publikasi: Leona Liu


Publikasi terkait:

The post Swafoto untuk Keberlanjutan? appeared first on CIFOR Forests News.


See the rest of the story at mysite.com

Related:
Peatland restoration: connecting science with policy and practice
One commodity, seven countries – and multiple impacts for legal timber
Temuan Baru dari Riset di Rawa Sawit Lahan Gambut Peru


source https://forestsnews.cifor.org/78289/swafoto-untuk-keberlanjutan?fnl=enid

Post a Comment

Previous Post Next Post