hutan jawa |
Berkaca pada potret kondisi kawasan hutan di Pulau Jawa, Pemerintah membuat terobosan kebijakan yang disebut Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Kebijakan ini diambil untuk mengatasi permasalahan masyarakat di kawasan hutan Jawa. Di samping itu, agar Perhutani dapat lebih fokus pada bisnis usahanya.
Perbaikan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Jawa tersebut telah diatur dalam Undang Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 125 ayat (7), yang menyatakan bahwa kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi yang tidak dilimpahkan penyelenggaraan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Negara Bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus.
Adapun peruntukannya yaitu untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan (Konflik tenurial, konflik misal pemukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, lahan pengganti, hutan cadangan, hutan pangonan, proses TMKH), penggunaan kawasan hutan (IPPKH, PPKH, Lahan kompensasi), Rehabilitasi hutan (RHL, Lahan kritis), Perlindungan hutan (kriteria lindung), pemanfaatan jasa lingkungan (kerjasama) yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Berbagai pihak menyambut positif Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Jawa yang di antaranya diperuntukkan untuk perhutanan sosial. Kebijakan itu diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam kawasan hutan dengan pelibatan masyarakat melalui pengelolaan hutan yang lestari.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 5 April 2022 telah menetapkan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada sebagian hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Provinsi Banten. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287 Tahun 2022, KHDPK seluas 1.103.941 hektare itu di antaranya untuk kepentingan perhutanan sosial.
Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat.
Ketua Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Se-Indonesia (AP2SI), Roni Usman Kusmana mengatakan pelibatan masyarakat dalam perhutanan sosial memunculkan perbaikan lingkungan seperti berkurangnya kasus kebakaran hutan dan lahan di kawasan konservasi Kamojang, Garut, Jawa Barat.
“Ini saya ambil contoh Kamojang. Kamojang itu setiap tahun terjadi kebakaran luar biasa tapi Alhamdulillah sejak tahun 2017 sampai sekarang semuanya bisa diminimalisir, kemudian kebakaran hampir mungkin tidak ada lagi, karena mereka sendirilah yang menjaga, merawat,” kata Roni Usman.
Barid Hardiyanto dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) menilai kebijakan itu akan memiliki berbagai dampak positif diantaranya rasa memiliki hutan yang tinggi oleh masyarakat, meningkatnya produktivitas yang berpengaruh pada pendapatan masyarakat yang lebih baik melalui agroforestry.
“Produktivitas yang tinggi akan berdampak pada pendapatan yang lebih baik bagi petani. Jadi kemiskinan yang terjadi di 5.400-san desa yang ada hutannya yang diklaim negara sebagai kawasan hutan negara, dengan perluasan akses ini KHDPK maka akan membuat pendapatan lebih tinggi bagi masyarakat,” kata Barid Hardiyanto dalam webinar Forum Pojok Desa bertema KHDPK Sebagai Keadilan Untuk Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa, Selasa (16/8).
Selain untuk perhutanan sosial, KHDPK juga bermanfaat untuk penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Roni Usman berharap dengan penetapan KHDPK itu dapat menjawab krisis ekologi atau pemulihan kawasan hutan, menyelesaikan konflik dan menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
KHDPK Upaya Memperbaiki Kebijakan Pengelolaan Hutan di Jawa
Dalam siaran Pers, Kamis (21/7), Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Suprianto menjelaskan melalui KHDPK diharapkan dapat menjawab permasalahan sosial dan ekologi di kawasan hutan Jawa.
“Ini saya ambil contoh Kamojang. Kamojang itu setiap tahun terjadi kebakaran luar biasa tapi Alhamdulillah sejak tahun 2017 sampai sekarang semuanya bisa diminimalisir, kemudian kebakaran hampir mungkin tidak ada lagi, karena mereka sendirilah yang menjaga, merawat,” kata Roni Usman.
Roni Usman berharap dengan penetapan KHDPK itu dapat menjawab krisis ekologi atau pemulihan kawasan hutan, menyelesaikan konflik dan menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Dalam siaran Pers, Kamis (21/7), Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Suprianto menjelaskan melalui KHDPK diharapkan dapat menjawab permasalahan sosial dan ekologi di kawasan hutan Jawa.
sumber : voaindonesia