Dari Hutan Komunitas Ini Bikin Bobol Rekening Nasabah |
Tenaga Ahli Utama Kementerian Komunikasi dan Informatika Devie Rahmawati, mengutip pernyataan pihak kepolisian, mengungkapkan ada sejumlah kelompok penjahat siber yang bernaung di hutan untuk melancarkan aksi pembobolan.
Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi layanan internet di Indonesia pada 2021-2022 mencapai 77,02 persen.
Jika dikuantifikasi ke jumlah penduduk, internet menjangkau 210.026.769 jiwa dari total populasi 272.682.600 penduduk. Artinya, ada 62.655.831 yang belum terjangkau internet.
Data-data itu berdasarkan Survei Penetrasi dan Perilaku Penggunaan Internet yang melibatkan 7.568 responden, 11 Januari hingga 24 Februari 2022. Margin of error-nya mencapai +/- 1,13 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Pada survei tersebut juga terungkap bahwa provinsi dengan penetrasi internet tertinggi adalah DKI Jakarta (83,39 persen). Sementara, provinsi dengan penetrasi internet terendah adalah Sulbar (57,58 persen).
Komunitas pembobol data nasabah sempat beraksi dari pelosok hutan di Indonesia. Sisi gelap penetrasi internet yang kian luas?
"Menurut pengakuan polisi pelaku penipuan ada di hutan yang sinyalnya bagus, melakukan penipuan [terhadap] nasabah untuk menawarkan menjadi nasabah prioritas," ujar dia, dalam acara webinar Gizmo Talk, Kamis (18/8).
Dengan modus itu, pelaku kejahatan bisa menggasak rekening korban, karena mengaku seolah sebagai petugas perbankan, sehingga para korban percaya dan memberikan sejumlah data penting untuk akses ke rekening nasabah.
Padahal, sebagian kelompok itu bermukim di sebuah gubuk atau bangunan semi permanen di dalam hutan belantara. Dengan bermodalkan sinyal yang kuat bisa menggasak uang para korban.
"Ini menjadi tantangan berkah digital bagi sebagian orang di sebuah hutan belantara; ada sinyal yang bagus di sana, tapi satu sisi ada hal menarik, membuat gubuk dan melakukan money laundering dengan metode psycho-engineering dan tanpa sadar bisa menggasak rekening korban," tutur dia.
Meski begitu, ia mengaku bukan hal yang mudah untuk menangkap para pelaku kejahatan digital tersebut. Dia berharap warga yang menjadi korban untuk melakukan pelaporan ke pihak kepolisian agar membantu menumpas kejahatan di jagat maya.
"Sayangnya korbannya itu bukan melaporkan kepada aparat, memilih diam karena malu. Kedua, mereka sering mengatakan lebih memilih pasrah karena kurang beramal atau takdir tuhan," cetus Devie.
"Yang merasa dirugikan itu harus melapor, minimal kalau rugi uang, tiket akhirat dapet lah, karena membantu yang lain untuk menumpas kejahatan siber," lanjutnya.
Devie tak mengungkap detail kasus dengan pelaku yang bermarkas di hutan belantara.
Namun demikian, berdasarkan pemberitaan, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri sempat membekuk sindikat penipuan di Sumatera Selatan yang membobol Rp21 miliar dari akun nasabah bank dan transportasi online. Modusnya, memanfaatkan kode One Time Password (OTP).
Hasil kejahatan ditampung warga satu kampung di Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir, Sumsel.
"Uniknya, rekening penampungan ini banyak. Hampir satu kampung diminta untuk buka rekening. Jadi ada timnya, jadi penunjuk. Dia yang jalan memberi iming-iming dan sebagainya biar masyarakat pada buka rekening. Itu yang digunakan rekening penampungan itu," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono di Markas Besar Polri Maret 2020, dikutip dari detiknews.
sumber: cnn