Hariadi Kuncoro melalui artikel yang diupublikasikan di laman website forestdigest.com dengan judul Sengkarut Pengakuan Masyarakat Adat menjelaskan.
Masyarakat adat bermukim dan punya ruang hidup di dalam dan sekitar hutan selama berabad-abad. Negara kemudian mengukuhkan ruang hidup mereka sebagai kawasan hutan. Pada 2012, Mahkamah Konstitusi membuat putusan bahwa ruang hidup masyarakat adat itu bukan hutan negara. Meski begitu, pengakuan masyarakat adat tetap perlu legalitas.
Mahkamah Konstitusi tidak mencabut Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan yang mengatur bahwa pengakuan masyarakat adat melalui peraturan daerah. UU Cipta Kerja yang merevisi UU Kehutanan juga tak menganulir atau mengubah ketentuan ini untuk menyelaraskan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam ketentuan mengenai pembentukan peraturan-perundangan, peraturan daerah terbit atas kesepakatan antara DPR Daerah dan pemerintah daerah. Syaratnya ada penelitian atau pengkajian hukum agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang dituangkan dalam naskah akademik. Peraturan daerah juga terlebih dahulu harus ada dalam program legislasi daerah.
Dalam praktiknya, syarat peraturan daerah itu—yang bertujuan tertib administrasi—cukup menghambat pengakuan masyarakat adat. Sebab, membuat peraturan daerah, mendorong agar keputusan politik menerbitkannya, memerlukan sumber daya tak sedikit. Juga ada konflik kepentingan. Lama waktu mengurus Perda pengakuan masyarakat adat adalah jamak kita dengar di tengah rendahnya dukungan politik kepada mereka.
Di saat bersamaan, pemerintah sedang berusaha mempercepat investasi berbasis lahan melalui UU Cipta Kerja. Percepatan investasi memperbesar sentimen terhadap masyarakat adat yang dianggap menghambat investasi karena acap terjadi konflik lahan pemegang izin lahan dengan masyarakat adat yang sudah tinggal di sana lebih dulu.
Pertanyaannya, mengapa pengakuan masyarakat adat harus melalui peraturan daerah?
Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021, pemerintah harus menyusun ulang omnibus law ini secara lebih partisipatif—istilahnya “partisipasi bermakna”. MK menolak gugatan terhadap UU ini karena sudah dianggap tidak berlaku sampai revisinya terbit pada akhir tahun depan.
Apa itu partisipasi bermakna dalam penyusunan undang-undang? Menurut MK, definisi partisipasi bermakna adalah partisipasi masyarakat yang memenuhi tiga hak: hak masyarakat didengarkan pendapatnya, hak masyarakat dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat mendapat penjelasan atas pendapatnya itu.
Jika tak ada perbaikan hingga akhir 2022, menurut putusan MK, UU Cipta Kerja akan inkonstitusional secara permanen. Baru-baru ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pemerintah sedang memprioritaskan revisi UU Cipta Kerja dibanding UU KUHP.
Dengan revisi itu, kita punya kesempatan membahas Pasal 67 UU Kehutanan tentang pengakuan masyarakat adat secara lebih dalam. Dalam UU itu disebutkan bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tapi wewenang pemerintah “mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, serta menetapkan kawasan hutan maupun mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan”.
Dalam UU Kehutanan, sebelum diubah UU Cipta Kerja, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan (Pasal 19) serta pemberian izin pinjam kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis (Pasal 38) harus mendapat persetujuan DPR. UU Cipta Kerja, demi mempercepat izin investasi, menghapus klausul persetujuan DPR ini.
Artinya, pengakuan masyarakat adat juga mestinya tak lagi memerlukan peraturan daerah karena urusan legalitas berbasis lahan sepenuhnya menjadi urusan eksekutif. Gubernur, wali kota, bupati, bisa mengukuhkan suatu masyarakat di daerahnya tanpa mesti berkonsultasi dengan DPR Daerah. Sejalan dengan itu, kawasan hutan berupa hutan adat juga harus dipertahankan (Pasal 37). Pemerintah mesti menyusun NSPK (norma, standar, prosedur kriteria) pelaksanaannya.
Mengapa untuk investasi pemerintah merasa tak perlu mendapat persetujuan DPR sementara pengakuan masyarakat adat tetap harus konsultasi ke parlemen? Ini tak ada penjelasan sampai hari ini.
Dari para ahli hukum saya mendapatkan penjelasan bahwa tidak ada norma hukum yang mengharuskan peraturan daerah syarat pengakuan masyarakat adat oleh negara. Perda hanya urusan tertib administrasi. Karena itu jika menghambat pengakuan masyarakat adat, mestinya ketentuan ini bisa ditinjau ulang.
Mendefinisikan pasal-pasal yang berdasarkan logika positivistik, hampir pasti kurang membawa hasil. Kompleksitas masalah saat ini, karena itu, perlu kapasitas perumus kebijakan melalui regulasi. Xun Wu, dkk. dalam “Policy Capacity: A conceptual framework for understanding policy competences and capabilities” (2015) membahas apa itu kapasitas.
Menurut mereka ada keterampilan atau kompetensi utama yang mendorong kapasitas pembuatan kebijakan, yaitu: kemampuan analitis, pelaksanaan secara operasional, dan kemampuan menahan tekanan politik.
Dari pengalaman saya mengamati implementasi regulasi, alas kapasitas pembuatan kebijakan ditentukan oleh tata kelola. Misalnya soal pengakuan masyarakat adat ini. Ada konflik kepentingan di dalam pemerintah, yakni alokasi lahan untuk investasi atau masyarakat adat. Karena pikiran aparatur pemerintah cenderung menumbuhkan ekonomi, pilihan jatuh pada investasi.
Pilihan pada investasi juga ditopang oleh potensi korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi telah lama menemukan ada biaya transaksi dalam pengurusan izin bisnis. Kita bisa menduga pilihan terhadap investasi karena mengurus pengakuan masyarakat adat nyaris tak memerlukan biaya transaksi.
Karena itu penyederhanaan aturan saja tidak cukup. Urusan pengakuan masyarakat adat mesti kita lihat jauh ke dalam tata kelola kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Jika tata kelola buruk, aturan pengakuan masyarakat adat akan terkena imbasnya.
sumber: forestdigest