Berbagai cara untuk membenahi jejak lingkungan dan ekuitabilitas perdagangan minyak sawit menjadi topik utama dialog kebijakan daring, pada 22 Maret 2022.
Acara ini diselenggarakan oleh CIFOR-ICRAF sebagai bagian dari aktivitas GCRF TRADE Hub di Indonesia yang didanai oleh Dana Riset Pusat Penelitian dan Inovasi Tantangan Global Inggris Raya dan dipimpin oleh Pusat Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan PBB (UNEP-WCMC). Perwakilan dari pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil berkumpul untuk membahas sejumlah kelindan masalah terkait perdagangan minyak sawit, menjelang konferensi tingkat tinggi ke-17 untuk G20, sebuah forum kerja sama multilateral yang mewakili negara-negara maju dan berkembang.
Indonesia menggelar Presidensi G20 2022 dan akan menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi tahunan pada akhir tahun ini dengan tema ‘Recover Together, Recover Stronger’. Tema ini membuka peluang krusial untuk bisa menetapkan agenda diskusi pemulihan dan transformasi ekonomi global – termasuk memimpin diskusi untuk memajukan perdagangan minyak kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan yang akan membawa manfaat bagi ekonomi, lingkungan, dan masyarakat Indonesia.
“Isu kelapa sawit sangat mempolarisasi,” ujar Robert Nasi, Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Direktur Pelaksana CIFOR-ICRAF, saat menjadi pembicara kunci. “Situasi yang sedikit mirip seperti Dr Jekyll dan Mr Hyde [sebagaimana narasi yang sering digambarkan di media]. Namun pada dasarnya, kelapa sawit adalah tanaman yang sangat produktif, menghasilkan minyak berkualitas untuk industri dan bisnis; kelapa sawit sangat penting sebagai sumber mata pencaharian masyarakat lokal; dan sekaligus, sering dikaitkan dengan deforestasi tropis. Jadi, bagaimana kita bisa memperdagangkannya secara lebih berkelanjutan?”
Moderator diskusi, Sara Wayne, memfasilitasi ‘gelar wicara’ yang membedah isu ini, mengeksplorasi peluang, hambatan, dan kemajuan penerapan kesepakatan hijau global untuk perdagangan minyak sawit.
Neil burgess, Kepala ilmuwan UNEP-WCMC dan investigator utama TRADE Hub, menjelaskan bagaimana meningkatnya kesadaran mengenai deforestasi dan kaitannya dengan perubahan iklim yang mendorong tuntutan dari UE dan Inggris untuk rantai pasokan yang ‘lebih hijau’ dan bebas deforestasi. “Masyarakat lebih terinformasi,” katanya – “ada niat yang tulus yang datang tidak hanya dari pemerintah dunia, tetapi juga dari warganya.” Namun, ia juga memperingatkan bahwa langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan ini dapat berdampak negatif kepada petani kecil yang saat ini diuntungkan dari produksi kelapa sawit dan mungkin tengah berjuang dalam meningkatkan peraturan dan kepatuhan.
Ahmad Maryudi, Profesor di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, memaparkan bagaimana inisiatif yang ada gagal untuk sepenuhnya memberantas deforestasi dari rantai pasokan minyak sawit, dan lembaga pemerintahan Uni Eropa memperketat regulasi terkait. “Mungkin ada masalah dengan penegakan hukum, kesenjangan dalam hal kesediaan negara [pengimpor] untuk mewujudkan komoditas berkelanjutan, dan pemasok yang tidak benar-benar menjamin konservasi lingkungan,” katanya. “Jadi kami ingin memiliki proses yang diterapkan di semua negara, besar, dan kecil.”
Agam Fatchurrichman, Wakil Sekretaris GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) kemudian berbicara mengenai dampak kesepakatan hijau bagi para pelaku bisnis kelapa sawit di tanah air, dan kebutuhan kompensasi biaya untuk melewati semua ini – terutama untuk pemain kecil. “Kita perlu bergerak melampaui kebijakan sepihak yang dapat menghambat pembangunan ekonomi kita,” katanya. Ia juga menekankan pentingnya membangun kesepakatan tentang standar dan sistem sertifikasi berkelanjutan.
Made Ali, Koordinator Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau), yang telah menangani isu legislasi selama 20 tahun dengan fokus khusus pada petani kecil yang memiliki lahan di bawah lima hektare – dan mereka lah yang menghadapi tantangan signifikan untuk terdaftar di bawah peraturan kesepakatan hijau. “Para petani ini begitu sibuk bekerja di ladangnya, sehingga pemerintah perlu proaktif dalam berkontribusi untuk membangun korporasi berbasis masyarakat atau koperasi berbasis masyarakat,” katanya.
Sesi kedua ‘gelar wicara’ membahas mengenai peluang yang melekat pada Presidensi G20 bagi Indonesia untuk memperkuat perdagangan minyak sawit berkelanjutan. “Ini merupakan kesempatan sangat penting, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat internasional. Karena saat ini kita berada di tahun kedua, hampir ketiga pandemi global, dan tantangan yang kita hadapi saat ini bersifat sistemik dan membumi,” kata Shofwan Al Banna, asisten profesor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Khusus dalam perdagangan kelapa sawit, “Terdapat peluang besar bagi sejumlah negara yang paling terkait dalam isu ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk duduk dan berdiskusi bersama,” katanya. “Ini akan menjadi wadah di mana kita bisa lebih mendorong praktik berkelanjutan.”
Peneliti CIFOR-ICRAF, Herry Purnomo menekankan perlunya “membedakan antara produksi minyak sawit yang baik [berkelanjutan] dan yang buruk [tidak berkelanjutan]… untuk kemudian memperkuat bagian yang baik sambil mengubah yang buruk.” Bagian dari ‘memperkuat yang baik’, dalam pandangannya adalah menawarkan dukungan finansial dan teknis pada petani untuk menerapkan praktik pertanian yang baik.
Terkait catatan tersebut, Bremen Yong Kin Kong, Direktur Berkelanjutan Grup Apical –salah satu eksportir minyak sawit terbesar di Indonesia – berbicara mengenai pemakaian dana hijau untuk mendorong transformasi rantai pasokan. Ia juga menyebutkan perlunya membangun kepercayaan dalam sektor ini melalui kolaborasi dengan beragam pelaku dalam mewujudkan tujuan lingkungan, ekonomi, dan mata pencaharian masyarakat. Mengingat isu berkelanjutan merupakan tanggung jawab bersama, penting bagi kita untuk memiliki pola pikir yang terbuka. Inklusivitas di antara semua pemangku kepentingan juga merupakan komponen kunci dalam forum diskusi mengenai kebijakan dan penetapan standar,” katanya.
Al Banna, dari Universitas Indonesia, menyetujuinya, meskipun memberikan tambahan “Dalam menerapkan inklusivitas, kita perlu mengakui bahwa ya, kita memiliki perbedaan dan kita harus meletakkan perbedaan tersebut di atas meja – daripada mengkonsolidasi posisi kita sendiri dan mengubah negosiasi kita. Meja akan menjadi medan pertempuran, alih-alih forum untuk menemukan solusi.” Ini mencakup negara produsen dan konsumen melampaui pertimbangan pemangku kepentingan domestik mereka sendiri dalam upaya diplomasi ekonomi, katanya.
Beatriz Fernandez, Staf Manajemen Asosiasi Program Lingkungan dan Perdagangan di UNEP, berbagi harapan dan ekspektasi bahwa dialog G20 “Mempertahankan dan memperkuat kepentingan sistem perdagangan multilateral dalam mendorong pembangunan ekonomi dan sosial untuk melindungi lingkungan, tetapi juga bahwa perdagangan tersebut dapat berkontribusi untuk mengatasi isu lingkungan dan memajukan perdagangan minyak sawit berkelanjutan melalui kebijakan”, dialog akan bersifat inklusif, kolaboratif dan membangun kepercayaan, serta dapat membantu menyediakan kondisi yang memungkinkan untuk negara berkembang menghadapi tantangan, pemulihan, dan berhasil.
Al Banna berbagi sentimen ini dan berkontribusi untuk menyeru kepada semua pihak yang tertarik dan terlibat dalam transisi minyak sawit berkelanjutan. “Kita seharusnya tidak menunggu, kita seharusnya tidak berharap bahwa kita masih punya waktu. Mari bersama mendorong maju agenda ini.”
The post Menempatkan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Agenda Pemulihan G20 appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Air Hijau dan Sungai yang Melayang
¿Qué nos dejó agosto? Cinco noticias forestales para mantenerse al dÃa
Wild foods found to be widely collected across all agro-ecological zones of Zambia
source https://forestsnews.cifor.org/78932/menempatkan-kelapa-sawit-berkelanjutan-dalam-agenda-pemulihan-g20?fnl=enid