Salah satu titik terang yang langka dalam laporan ‘Status Hutan Dunia’ 2022 dari Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO), yang diluncurkan pada Kongres Kehutanan Dunia XV di Seoul adalah keberhasilan upaya Indonesia menurunkan deforestasi.
Indonesia menerapkan serangkaian kebijakan untuk melindungi dan memulihkan hutan, meningkatkan pemantauan kebakaran musiman, seiring dengan upaya signifikan industri kelapa sawit untuk lebih berkelanjutan. Hasilnya, kehilangan hutan primer berkurang selama lima tahun berturut-turut, menurun 25% dari tahun 2020.
Kabar Hutan (KH) berbincang dengan Ilmuwan Senior Pusat Penelitian Kehutanan dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) Herry Purnomo (HP) dan Sonya Dewi (SD) untuk mendapatkan pandangan mengenai laporan SOFO 2022, serta harapan mereka untuk jalan ke depan.
KH: Bagaimana kelindan krisis perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati dan munculnya penyakit baru dirasakan kehadirannya di Indonesia dalam setahun terakhir?
HP: Dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem dan musim kemarau panjang, meningkatkan kejadian bencana alam dan bencana akibat manusia seperti banjir dan kebakaran lahan dan hutan. Hal ini secara langsung dapat mengurangi keanekaragaman hayati dan kehilangan habitat, serta secara tidak langsung, meningkatnya kemiskinan. Kemiskinan juga dapat meningkatkan eksposur terhadap satwa liar jika mereka menghabiskan lebih banyak waktu berburu di hutan, yang mengarah pada munculnya penyakit zoonosis baru. Krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati juga mendorong ketidakseimbangan ekosistem yang dapat memicu wabah belalang, yang berdampak besar bagi ketahanan pangan.
SD: Saya setuju dan tidak perlu mengulanginya. Sebagai poin tambahan, beberapa dampak terkait iklim seperti banjir dapat memperbesar prevalensi dan intensitas penyakit endemik (seperti diare), selain itu meningkatnya suhu dapat memperluas wilayah dan endemisitas penyakit dengan nyamuk sebagai vektor (seperti demam berdarah dan malaria).
KH: Laporan ini mengurai sejumlah jalan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan lingkungan secara bersamaan. Bagaimana cara terbaik untuk melakukannya dalam konteks Indonesia? Tantangan spesifik apa yang ada untuk mendukung ‘pemulihan hijau’?
HP: Jalan penghentian deforestasi dan pemeliharaan hutan, pemulihan lahan terdegradasi dan perluasan wanatani, serta pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan membangun rantai nilai hijau dapat dilakukan secara bersamaan pada skala yang sesuai dalam konteks Indonesia pada skala yang sesuai. Indonesia telah melakukan ini dengan tingkat keberhasilan yang berbeda di daerah berbeda, dan artinya ini ternyata bisa dilakukan.
Indonesia berhasil menurunkan deforestasi dari sekitar 462.000 hektare menjadi sekitar 115.000 hektare per tahun, tetapi belum mampu menurunkannya menjadi nol. Melalui berbagai upaya dan proyek, Indonesia dapat belajar pendekatan yang berhasil dan yang tidak.
Kami menemukan bahwa representasi sektor swasta dan petani sangat ingin berpartisipasi ketika ada insentif yang tepat. Tantangan tersisa terletak pada peningkatan tata pemerintahan yang baik dan penguatan penegakkan hukum sebagai komitmen seluruh pemangku kepentingan.
SD: Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam kondisi cuaca, ekosistem, dan sosial ekonomi. Tidak ada rumus tunggal dalam pemulihan hijau. Desentralisasi tata kelola diperlukan agar pemangku kepentingan daerah bertanggung jawab atas pertumbuhan ekonomi dan kesehatan ekosistem. Dua tantangan besar lainnya, yaitu kebijakan dan program pemerintah yang terpecah-pecah, dan kurangnya kapasitas dalam kemitraan pemerintah-swasta-rakyat dalam investasi hijau.
KH: Bagaimana pesan kunci pada SOFO 2022 selaras dengan situasi di Indonesia secara umum? Apakah ada sesuatu dari sudut pandang Anda yang perlu lebih ditekankan?
HP: Pesan-pesan kunci selaras dengan apa yang dilakukan pemangku kepentingan. Provinsi yang berbeda memerlukan penekanan yang berbeda, Sumatra perlu fokus dalam pemulihan lahan dan ekosistem terdegradasi termasuk lahan gambut dan mangrove, sementara provinsi Kalimantan dan Papua/Papua Barat perlu memberikan perhatian dalam menghentikan deforestasi, pemanfaatan hutan secara berkelanjutan, dan menghijaukan rantai nilai.
SD: Ekonomi Biru, dan integrasi pengelolaan bentang alam lahan dan laut – di mana hutan mangrove sangat penting – diperlukan bagi Indonesia, yang merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia.
FN: Menjelang COP27, apa harapan Anda tentang yang akan terjadi di Indonesia sampai saat itu?
HP: Saya berharap ada lebih banyak investasi hijau yang mengikat dari komunitas global untuk hutan dan pohon Indonesia, termasuk simplifikasi perdagangan karbon yang dapat diakses petani dan masyarakat.
SD: Saya berharap lebih banyak integrasi dalam penangatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui solusi berbasis alam, termasuk pembiayaan untuk tindakan terintegrasi. Pengelolaan sumber daya air dan DAS layak untuk lebih ditonjolkan.
The post “Ternyata Bisa Dilakukan”: Sejumlah Perspektif mengenai Laporan Terbaru Status Hutan Dunia dalam Konteks Indonesia appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Wild foods found to be widely collected across all agro-ecological zones of Zambia
Estudio: Estas son las causas subyacentes detrás de la deforestación y el cambio de uso de la tierra en la Amazonía peruana
Pembayaran Jasa Ekosistem Hutan: Sudahkah Mencapai Tujuannya?
source https://forestsnews.cifor.org/78893/ternyata-bisa-dilakukan-sejumlah-perspektif-mengenai-laporan-terbaru-status-hutan-dunia-dalam-konteks-indonesia?fnl=enid