Ketika perhatian terhadap apa yang dialami Masyarakat Adat (IP) dan Komunitas Lokal (LC) menjadi kunci inisiatif hutan topis, kegagalan mempertimbangkan ketidaksetaraan dan eksklusi terhadap kelompok ini – atau persimpangan kategori eksklusi sosial – dapat melahirkan kembali hambatan terhadap keadilan dan kesejahteraan.
Satu hal terpenting dari kategori-kategori ini adalah gender. Tumbuh perhatian terhadap hubungan antara kesetaraan gender dan aksi iklim berbasis hutan yang efektif, serta untuk tujuan lebih luas penanganan kemiskinan dengan mentransformasi struktur dan proses yang membatasi peluang, sumber daya, dan pilihan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB 5, kesetaraan gender, mencakup urgensi memperkuat kepemilikan dan hak lahan untuk perempuan. UNFCCC mengakui kerentanan khas perempuan terhadap perubahan iklim dan seruan kebijakan iklim responsif gender di berbagai tingkat. Apalagi perempuan juga merupakan agen penting perubahan.
Perhatian internasional ini belum tercermin dalam implementasi REDD+. Aksi mitigasi iklim harus menjamin pengakuan perempuan IP dan LC serta apa yang mereka alami, selain juga harus lebih dari sekedar “menambahkan dan menggerakkan perempuan ke dalam pot REDD+”.
Sebagai bagian dari Studi Komparatif Global tentang REDD+, kami meneliti serangkaian lembaran yang mengeksplorasi hak-hak IP dan LC di bawah sebelas standar pengamanan sukarela untuk REDD+, dan pedoman pengamanan lembaga pendanaan multilateral (agar sederhana, mulai di sini kami akan mengacu pada hal ini secara umum sebagai “standar”). Tujuan kami adalah untuk menyediakan pembelajaran penerapan standar tersebut dalam konteks nasional dan subnasional berbeda, agar proponen dari inisiatif (dan pihak lain yang berkepentingan) dapat membandingkan ketentuan pengamanan mereka dengan yang lain, selain agar pelaksana REDD+ dapat mempertimbangkan implikasi dan manfaat dari mendukung hak-hak IP dan LC.
Untuk lembaran terbaru, berjudul “Sekilas tentang pengamanan: Apakah standar sukarela mendukung kesetaraan gender dan pelibatan perempuan dalam REDD+?”, kami membahas jika dan bagaimana standar dan pedoman itu mengenali ketidaksetaraan gender dan eksklusi perempuan ketika terlibat dengan IP dan LC. Bagaimana hal itu menangani perempuan dan gender? Bisakah lebih baik daripada “tidak membahayakan”? Bisakah menyediakan jalan untuk pendekatan transformatis gender?
Sekilas tentang standar pengamanan
Temuan kami dalam naskah yang diringkas menjadi sebuah tabel dengan membandingkan enam kriteria.
Baris pertama dari tabel (a) menilai setiap pedoman atau standar sebagai mengakui ketidaksetaraan/ pengecualian gender (sebagaimana dicatat dalam lembaran pertama dari serial). Lima kriteria lain muncul dari analisis arena di mana standar berbeda menangani masalah ini. Ini termasuk koleksi data terpisah berdasarkan gender (terutama pada hak tenurial dan sumber daya) sebagai bagian dari patokan proyek; pelibatan perempuan dalam ruang partisipatif dan mengadakan konsultasi sensitif gender; rancangan mekanisme pembagian keuntungan yang adil, memastikan jaminan kepemilikan bagi laki-laki dan perempuan; dan penerapan mekanisme pengaduan yang responsif gender dan dapat diakses oleh perempuan.
Kemudian, di dalam tabel, setiap komponen dinilai menurut lima tema tersebut: (b) penilaian/patokan; (c) konsultasi/komunikasi; (d) pembagian manfaat; (e) hak atas tanah dan sumber daya; dan (f) mekanisme pengaduan. Kami menelaah dokumen yang diterbitkan oleh setiap standar atau lembaga, memberi penilaian yaitu, sepenuhnya selaras dengan (ya), menyelaraskan secara terbatas (sebagian), atau tidak sama sekali (tidak), dengan setiap kriteria.
Temuan
Tabel adalah potret dari apa yang coba dilakukan setiap standar, apa yang bukan, mana yang lebih ketat, dan apa yang mungkin dilakukan dalam dukungan untuk kesetaran gender dan pelibatan perempuan dalam proses REDD+ dan seterusnya.
Hampir seluruh standar secara eksplisit mempertimbangkan isu-isu gender; tumbuhnya kesadaran gender ini patut dipuji. Secara bersama, mereka mempresentasikan ruang lingkup luas dari persyaratan berbeda mengenai integrasi pertimbangan gender. Ini meliputi koleksi data terpisah berdasarkan gender – terutama pada hak tenurial/sumber daya – sebagai bagian dari rujukan dasar proyek (standar 7/11), pelibatan ruang dan konsultasi partisipatif yang sensitif gender atau inklusif bagi perempuan (10/11), serta rancangan mekanisme pembagian keuntungan yang adil (7/11).
Mengenai hak atas tanah dan sumber daya, sebagian besar standar (8/11) mempertimbangkan setidaknya satu dari tiga kriteria terkait gender: data, konsultasi, serta tenurial dan keamanan sumber daya. Poin pertama mencakup persyaratan untuk memiliki data khusus tentang kepemilikan dan sumber daya perempuan dan pertimbangan peran khusus mereka dalam pengelolaan lahan dan/atau sumber daya (5/11). Poin kedua mensyaratkan partisipasi perempuan dalam asesmen tanah dan sumber daya, dan hanya untuk kasus-kasus ketika hak properti dipengaruhi oleh kegiatan proyek (3/11). Poin ketiga hanya dipertimbangkan oleh satu standar (1/11).
Dua standar (2/11) mensyaratkan bahwa mekanisme pengaduan merupakan responsif gender. Ini merupakan kelalaian yang mengkhawatirkan di tengah sebagian besar standar lain mengingat potensi tindakan REDD+ berdampak pada hak-hak perempuan IP dan LC. Mengingat ketidaksetaraan dan eksklusi berbeda dihadapi perempuan, harus ada saluran yang tepat bagi mereka untuk menyampaikan kekhawatiran mereka tanpa akibat, serta jalur untuk ganti rugi bila diperlukan.
Dalam standar yang dikaji, kami menemukan inklusivitas atau sensitivitas gender biasanya mengacu pada mengatasi hambatan partisipasi bagi perempuan dan memastikan suara mereka dalam pengambilan keputusan. Hal ini merupakan langkah positif, namun masih harus dilihat apakah akan dipraktikkan. Hanya sedikit yang memberikan pedoman tentang bagaimana mengoperasionalkan pelibatan atau membutuhkan indikator khusus untuk memantau kemajuan.
Dari inisiatif buta gender menjadi REDD+ yang transformatif gender
Ada perubahan yang jelas dan positif karena menjauh dari persyaratan buta gender dalam standar yang ditinjau. Meskipun masih banyak yang harus dilakukan. Setidaknya, perlindungan memastikan bahwa tindakan ‘tidak membahayakan’ perlu diterapkan dan dipantau secara ketat. Bagaimanapun, inisatif REDD+ seringkali kehilangan kesempatan untuk melewati standar minimum untuk perempuan IP dan LC sebagai pemegang hak, pembuat perubahan, pemimpin, dan mitra upaya mengatasi darurat iklim.
Pendekatan transformatif gender untuk REDD+ akan menantang struktur dan proses mendasar yang mengandung ketidaksetaraan, contohnya dengan berusaha mengatasi akar penyebab yang mendasari dampak perubahan iklim yang dibedakan berdasarkan gender. Inisiatif REDD+ dan para pendukungnya dapat mengkatalisasi perubahan melalui kolaborasi dan kemitraan dengan komunitas yang memastikan pelibatan dan akses setara terhadap lahan, sumber daya, dan keuntungan serta mendukung penentuan nasib sendiri. Proses ini harus beradaptasi dan merespon konteks berbeda, mengakui bahwa norma dan hambatan informal dan formal yang membentuk ketidaksetaraan dapat bebeda di antara dan di dalam komunitas.
Standar REDD+ harus dirancang untuk mendukung kesetaraan gender dan pelibatan perempuan dengan memanfaatkan kekuatan dan suara mereka, melalui pedoman dan indikator penerapan yang spesifik untuk memantau kemajuan.
Kami akan terus mendalami isu-isu ini pada tahun mendatang dengan menganalisis standar perlindungan dan penerapannya, dilengkapi dengan kerja lapangan di Indonesia, Peru, dan Republik Demokratik Kongo.
Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global REDD+ CIFOR. Mitra pendanaan yang mendukung penelitian ini meliputi Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia (Norad, Hibah No. QZA-21/0124), Inisiatif Iklim Internasional (IKI) dari Kementerian Lingkungan, Konservasi Alam, dan Keselamatan Nuklir Pemerintah Federal Jerman(BMU, Hibah No. 20_III_108), dan Program Penelitian Hutan, Pohon dan Agroforestri (CRPFTA) CGIAR dengan dukungan keuangan dari Donor Dana CGIAR.
The post Dari Buta Gender menuju Transformasi Gender dalam REDD+ appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Private-sector engagement through integrated landscape approaches urged
Menjembatani Kesenjangan Informasi
Realities of doing science in remote rainforests: The Karaawaimin Taawa Biodiversity Assessment
source https://forestsnews.cifor.org/81077/dari-buta-gender-menuju-transformasi-gender-dalam-redd?fnl=enid