Lahirnya “Undang-Undang Cipta Kerja” di Indonesia bertujuan untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan GDP dengan melakukan deregulasi pada investasi serta mendorong kewirausahaan. Lanskap pro-bisnis yang sedang berkembang ini menjanjikan peluang baru dan tantangan bagi REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), sekaligus juga sebagai dasar hukum yang kuat bagi perhutanan sosial.
Dalam Ringkasan Laporan Tahun 2022, para peneliti dari Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) mengkaji kemungkinan implikasi yang timbul dari undang-undang tersebut. Sebagai contoh, suatu perubahan peraturan yang drastis dapat memengaruhi beberapa hal. Di antaranya yaitu pengelolaan lahan, jangka waktu penguasaan lahan (tenure), dan keputusan tentang siapa yang bertanggung jawab untuk pencegahan kebakaran hutan. Pemerintah secara resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah dalam Pengganti Undang-Undang No. 2 di penghujung tahun 2022, mendorong para pihak untuk bekerja bersama guna menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan tujuan untuk kelangsungan lingkungan hidup.
“Langkah menyeimbangkan bisnis dengan emisi karbon saat ini sedang berlangsung,” ujar Peneliti Senior CIFOR-ICRAF, Bimo Dwisatrio. “Waktu telah menunjukkan kepada kita bahwa negara diuntungkan oleh kerja sama finansial dengan sektor swasta untuk pendanaan proyek-proyek yang membantu Indonesia mencapai target NDC (Nationally Determined Contributions). Dengan Undang-Undang Cipta Kerja, kita tertarik mengetahui lahan mana yang akan ditetapkan untuk REDD+ untuk NDC dan lahan mana yang akan dikonversi untuk sektor bisnis,” tambahnya.
Dwisatrio merujuk pada bagian dari peraturan teresbut yang dapat mengkonversi lahan-lahan terdegradasi – yang ditetapkan sebagai Wilayah Pengukuran Kinerja (WPK) REDD+ tahun 2010 – menjadi lahan pertanian atau “food estates”. Alasan di belakangnya yaitu bahwa sementara WPK memiliki nilai untuk program pembayaran karbon berbasis hasil (results-based carbon payments), wilayah itu tidak lagi berlaku dan akan lebih baik jika diberikan kepada sektor swasta. Bagaimanapun, peraturan tersebut belum berlaku. Masih dibutuhkan riset lebih lanjut untuk mengetahui persyaratan-persyaratan apa yang dibutuhkan untuk mempertahankan WPK dalam program REDD+ (misal: berapa luasan tutupan kanopi atau indeks kehati apa yang dibutuhkan).
Salah satu keuntungan yang diproyeksikan dari Undang-Undang Cipta Kerja adalah penekanan pada lahirnya pekerjaan-pekerjaan baru yang ramah lingkungan dengan memberikan kemudahan kepada komunitas dalam mendapatkan izin pengelolaan lahan. Menciptakan dasar hukum yang lebih kuat untuk perhutanan sosial dapat membantu lahirnya kewirausahaan yang ramah lingkungan karena peraturan tersebut membolehkan komunitas untuk mengambil alih kepemilikan dan mengelola secara berkelanjutan untuk keuntungan jangka panjang.
Dwisatrio mengingatkan, bahwa kepemilikan izin tidak menjamin anggota komunitas akan langsung memulai sebuah bisnis yang ramah lingkungan di sana. Mereka mungkin memilih pindah ke kota di mana mereka bisa mendapatkan uang secara langsung, terutama jika mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk mengawali dan mempertahankan bisnis di daerah. Dengan keberadaan proyek-proyek REDD+, dukungan lokal bergantung pada apakah manfaat yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, kata Dwisatrio. Apabila orang dapat mengelola lahan secara berkelanjutan dan secara bersamaan mendapatkan uang serta dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, kemungkinan mereka akan mau menerimanya.
Sepakat dengan pendapat itu, Ketua Tim CIFOR-ICRAF untuk Perubahan Iklim, Energi dan Pembangunan Rendah Karbon, Pham Thu Thuy mengatakan, “(Untuk menciptakan pekerjaan “ramah lingkungan melalui peraturan, Anda membutuhkan kondisi pemungkin dan proses pengambilan keputusan yang inklusif.” “Secara singkat, kita perlu menggarisbawahi kebutuhan untuk koordinasi lintas-sektoral dan kolaborasi yang lebih baik dalam menanggapi isu paling kompleks dari Undang-Undang Cipta Kerja yang akan berlaku,” tambahnya.
Sementara laporan singkat 2020 berisi diskusi tentang dampak undang-undang tersebut terhadap REDD+, Indonesia telah menerapkan berbagai strategi untuk membantu pelestarian hutan tropis terbesar ketiga di dunia ini (setelah Dataran Kongo dan Amazon). Termasuk di antaranya, yang paling mutakhir, yaitu the Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR). Komitmen Indonesia untuk REDD+ sudah dimulai tahun 2010, dan semenjak itu angka deforestasi terus berkurang. Meskipun kesepakatan berakhir tahun 2019, kontrak kedua REDD+ (ditandatangani 12 September 2022) memberikan sinyal bahwa komitmen tersebbut dilanjutkan untuk mengatasi emisi dari hutan dan secara bersamaan tetap melakukan pembangunan ekonomi.
“Dengan kesepakatan REDD+ baru ini, semua orang berharap hal itu dapat menciptakan insentif finansial dan platform untuk Indonesia guna melanjutkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi,” ujar Pham.
_____
Proyek ini dibuat sebagai bagian dari the Center for International Forestry Research’s Global Comparative Study on REDD+ (GCS REDD+). Mitra-mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini di antaranya adalah the Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad, Grant No. QZA-21/0124), International Climate Initiative (IKI) of the German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU, Grant No. 20_III_108), and CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRP-FTA) dengan dukungan finansial dari CGIAR Fund Donors.
_____
Tautan terkait
- Global Comparative Study on REDD+ (GCS REDD+)
- CIFOR-ICRAF topic: Climate change
The post Mencitrakan REDD+ dalam Undang-Undang Cipta Kerja Indonesia appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Avec une coordination intersectorielle performante, les forêts d’Afrique centrale contribueraient davantage aux ODD
Robust intersectoral coordination could unleash Central African forests’ contribution to SDGs
Une prise en compte vitale du savoir local dans les politiques publiques pour des moyens de subsistance durables
source https://forestsnews.cifor.org/82246/mencitrakan-redd-dalam-undang-undang-cipta-kerja-indonesia?fnl=enid