Para pejabat pembuat kebijakan pemerintah semakin menyadari pentingnya membuat kebijakan publik berdasarkan bukti ilmiah. Namun, informasi tersebut seringkali hanya dimuat dalam jurnal ilmiah-jurnal ilmiah spesifik yang belum tentu mereka baca.
Agar informasi tersebut lebih mudah diakses dan bermanfaat, beberapa ilmuwan CIFOR-ICRAF di Peru, negara dengan hutan terluas kedua di Amerika Selatan, berupaya menjembatani kesenjangan tersebut.
Kelompok Penasihat Kebijakan pada Studi Perbandingan Global REDD+ CIFOR-ICRAF (CIFOR-ICRAF Global Comparative Study on REDD+ Policy Advisory Group) mempertemukan para peneliti, pembuat kebijakan, dan para pemangku kepentingan REDD+ yang terkait untuk bersama-sama mendiskusikan berbagai penelitian yang sedan dilakukan, terutama yang berkaitan dengan pengurangan emisi gas rumah kaa dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).
Pertemuan dilakukan tiga kali pada tahun 2022-melibatkan 25 peneliti dari 30 peneliti, pejabat pemerintah, perwakilan dari organisasi-organisasi masyarakat adat/penduduk asli, anggota lembaga non-pemerintah dan para akademisi. Mereka dipertemukan dalam Dialog Sains-Kebijakan untuk mendengarkan dan mendiskusikan presentasi tentang proyek-proyek penelitian. Beberapa sesi direncanakan diadakan tahun ini.
Hasil penelitian berupa semacam peer-review selama penelitian masih berproses.
Peneliti CIFOR-ICRAF Juan Pablo Sarmiento Barletti mengatakan, “Tujuannya adalah untuk menyajikan penelitian kami kepada para pengguna potensial hasil penelitian kami.” Juan adalah salah satu koordinator dialog tersebut. “Pada saat para peneliti duduk bersama dengan para pembuat kebijakan untuk membicarakan bukan sekedar hasil akhir kami, namun penelitian yang masih dalam proses, kami mengundang mereka untuk memberikan validasi dan berkolaborasi untuk membuat penelitian tersebut semakin relevan dengan konteks mereka, ada dua hal yang bisa dicapai: sebuah percakapan dan proses berbagi pengetahuan, dan para pembuat kebijakan menjadi lebih tertarik karena mereka juga mengetahui perkembangannya,” ujarnya.
Dia menambahkan, “Hal itu menghasilkan suatu rasa kepemilikan karena mereka berpartisipasi pada saat penelitian masih dilakukan. Dengan demikian, kemungkinannya menjadi lebih besar bahwa mereka akan menggunakan informasi dari penelitian tersebut.”
Menurut Pablo Peña, proses belajar tersebut berlaku dua arah. Peña adalah salah satu koordinator dari Kelompok Penasihat Kebijakan yang juga bertindak selaku perantara dengan the Pontifical Catholic University of Peru di Lima. Universitas tersebut menjadi mitra utama untuk implementasi proyek tersebut di Peru.
Dalam berbagai pertemuan tersebut, para pembuat kebijakan mempelajari penelitian-penelitian yang dapat membantu mereka merancang kebijakan berbasis iptek, sementara para peneliti mendapat wawasan baru.
“Para peneliti tidak selalu memiliki pandangan yang terlalu jelas,” ujar Peña. “Mereka mungkin tidak memiliki smua informasi, atau ada hal-hal yang tidak mereka ketahui secara pasti, jadi mereka menyajikan proses penelitian mereka, dan terbuka untuk saran-saran, rekomendasi dan kritik dari para pembuat kebijakan. Dengan cara tersebut, penelitian mereka meningkat.”
Dalam pertemuan tersebut juga disajikan perspektif internasional dari penelitian-penelitian di 22 negara yang menjadi bagian dari Studi Perbandingan Global REDD+ (Global Comparative Study on REDD+). Namun, mereka juga berpijak pada isu-isu penting tertentu di Peru. Dalam pertemuan tanggal 6 Desember di Lima didiskusikan tipe-tipe deforestasi yang khas di berbagai negara tropis. Di sana juga dilakukan evaluasi terhadap dampak proyek konservasi di Peru, dan kajian mendalam tentang proyek-proyek khusus REDD+ di Brasil yang membahas mesin penuai kacang di wilayah Madre de Dios, di wilayah Brasil bagian tenggara.
Julia Naime, Doktor Peneliti CIFOR-ICRAF di Norwegian University of Life Sciences di Aas, Norwegia, yang juga berbicara tentang tipe-tipe deforestasi pada dialog Sains-Kebijakan sebelumnya, mengemukakan beberapa komentar dari sesi tersebut saat memberikan presentasi dalam pertemuan lanjutan di bulan Desember.
“Masukan dari para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan tingkat lokal amat membantu kami untuk memahami apa yang mereka pandang sebagai potensi terbaik penerapan tipe-tipe deforestasi: mengidentfikasi pola umum pemanfaatan lahan dan membandingkan dampak kebijakan di berbagai lokasi yang berbeda,” ujar Naime. “Diskusi itu juga membantu kami untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kami: dari penamaan setiap tipe hingga bagaimana kami harus mengomunikasikan cara mengkonstruksikannya dan berapa tipe yang bermanfaat untuk diterapkan,” ujar Naime.
Setelah diskusi tersebut, Naime dan koleganya memodifikasi terminologi yang mereka gunakan. Semula mereka menggunakan kata “frontier” yang digunakan untuk mengacu pada wilayah-wilayah dengan tingkat deforestasi yang tinggi, yang kemudian mereka ubah menjadi “deforestation fronts”.
Rudy Valdivia adalah salah satu peserta yang mengakui kemanfaatan dari pengenala tipe-tipe tersebut, yaitu untuk mengidentifikasi pola-pola perubahan fungsi lahan. Valdivia adalah koordinator Program Nasional Konservasi Hutan Peru untuk Mitigasi Perubahan Iklim. Menurut dia, presentasi Naime membantunya untuk memiliki cara berpikir yang berbeda tentang konteks deforestasi yang terjadi.
Dia juga tertarik pada penelitian yang dipresentasikan oleh Renzo Giudice, peneliti senior pada Pusat Pengembangan Penelitian di University of Bonn di Jerman yang mengkaji tentang evaluasi dampak program-program konservasi di Peru, termasuk evaluasi yang dilakukan di bawah pengawasan Valvidiva. Dia memasukkan beberapa rekomendasi yang muncul dari penelitian tersebut ke dalam evaluasi program di masa mendatang.
Dialog Sains-Kebijakan, menurut Validiva, merupakan “ruang di mana kita bisa mendengar persepsi orang lain tentang bagaimana sebuah masalah terjadi. Kadang-kadang Anda tenggelam dalam pekerjaan harian, dari hari ke hari, sehingga Anda hanya fokus pada persepsi Anda sendiri. Akan sangat membantu jika memiliki ruang di mana Anda bisa mendengar pandangan dari pihak lain.”
Bagi Sarmiento Barletti dan Peña, duanya ada dua kunci sukses untuk suatu kelompok yaitu: luasnya perspektif dan keterbukaan terhadap pertanyaan-pertanyaan dan kritik di antara orang-orang yang biasanya tidak saling berbicara.
Dialog tersebut juga menjadi tempat netral untuk melakukan diskusi mengenai program-program REDD+, yang bisa berkembang menjadi sangat kontroversial. Organisasi-organisasi masyarakat adat/penduduk asli di Peru selama ini mengkritik keras mekanisme REDD+, karena mereka melihat itu sebaga salah satu bentuk penyingkiran dan komersialisasi alam. Sarmiento Barletti mengatakan, “Namun mereka berpartisipasi dalam dialog karena mereka berkolaborasi dengan para peneliti dan dapat menggunakan bukti-bukti dari kerja penelitian kami ke dalam pekerjaan mereka dalam mewakili komunitas.”
Sarmiento Barletti dan Peña punya beberapa tips bagi mereka yang ingin memulai kelompok advokasi sejenis. Karena, bagi peneliti individu, pemerintah resmi atau anggota dari organisasi nirlaba untuk membentuk grup semacam itu, maka mereka menyarankan untuk bermitra dengan suatu pusat riset atau seseorang dari suatu organisasi nirlaba atau lembaga pemerintah untuk mendapatkan kontak-kontak dengan orang yang bekerja di bidang tersebut.
Agar suatu kelompok tetap bisa dikelola dengan baik dan memastikan ada cakupan perspektif, mereka merekomendasikan ada partisipasi dengan undangan untuk memastikan bahwa beragam sektor dan organisasi terwakili.
Dalam pertemuan-pertemuan resmi, para peneliti membagikan tulisan ilmiah dan membuat lokakarya dan pertemuan dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut mereka, salah satu tantangan adalah bagaimana menemukan cara yang efektif untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada pihak-pihak yang tidak memiliki spesialisasi. Para ilmuwan yang terlibat dalam pertemuan teresbut telah mempublikasikan hasil penelitian mereka sebagai ringkasan kebijakan dan blog-blog agar hasil penelitian tersebut lebih mudah diakses agar bisa menjadi contoh.
Sarmiento Barletti mengatakan, “libatkan pelaku-pelaku yang Anda tidak biasa berkerja sama. Anda perlu berpikir tentang mereka yang terdampak oleh pekerjaan Anda – Masyarakat Adat, sebagai contoh, dalam kasus REDD+, dan libatkan mereka jika Anda ingin mendapatkan perspektif yang jujur.”
Peña menambahkan, “Penting untuk memiliki ruang seperti ini, di mana orang dapat berdiskusi secara bebas dan terbuka, tanpa harus ada agenda khusus, hanya untuk mendengarkan satu sama lain dan berbicara tentang bukti-bukti baru serta tentang bagaimana memanfaatkannya atau meningkatkannya. Sulit mengukur ini. Namun, dengan adanya orang-orang menarik yang berbicara tentang hal-hal menarik yang dapat direfleksikan dalam sebuah kebijakan sebagai buah kerja platform ini, sungguh bermanfaat.”
Pertemuan selanjutnya telah diadakan pada 30 Maret di Iquitos, Loreto, di mana organisasi lokal dan internasional menginformasikan tentang kasus lahan gambut Amazon yang harus diperhitungkan sebagai bagian dari rujukan emisi gas rumah kaca nasional, the Forest National Reference Levels yang akan mempresentasikan hasil penelitian terakhir dan membicarakan peluang-peluang untuk masuk ke dalam kebijakan.
______
Untuk informasi lebih lanjut topik ini, silakan menghubungi Juan Pablo Sarmiento Barletti di J.Sarmiento@cifor-icraf.org
______
Proyek ini dibuat sebagai bagian dari the Center for International Forestry Research’s Global Comparative Study on REDD+ (www.cifor.org/gcs). Mitra-mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini di antaranya adalah the Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad, Grant No. QZA-21/0124), International Climate Initiative (IKI) of the German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU, Grant No. 20_III_108), and CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRP-FTA) dengan dukungan finansial dari CGIAR Fund Donors.
______
Bacaan lebih lanjut:
Global Comparative Study on REDD+
GCS REDD+ Policy Advisory Group brochure
The post Menerapkan Sains dalam Kebijakan Publik pada REDD+ appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Mencitrakan REDD+ dalam Undang-Undang Cipta Kerja Indonesia
Avec une coordination intersectorielle performante, les forêts d’Afrique centrale contribueraient davantage aux ODD
Robust intersectoral coordination could unleash Central African forests’ contribution to SDGs
source https://forestsnews.cifor.org/82269/menerapkan-sains-dalam-kebijakan-publik-pada-redd?fnl=enid