Polusi udara akibat kebakaran lahan gambut dan hutan melintasi batas negara, memberikan dampak negatif kepada ekosistem, kesehatan manusia, dan aktivitas ekonomi. Bencana ini juga memberikan dampak ekosistem yang menghilangkan pendapatan serta membahayakan kesehatan masyarakat setempat.
Perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan memperburuk polusi udara dan kemungkinan meningkatkan jumlah kebakaran hutan di seluruh dunia hingga 50% pada akhir abad ini, menurut Program Lingkungan PBB.
Pada 30 Maret 2023, lebih dari 70 perwakilan dari badan penanggulangan kebakaran regional, organisasi pemantau, universitas, sektor swasta, dan ASEAN Peatland Partners menghadiri lokakarya tentang pemetaan dan memperkirakan area yang terbakar di Asia Tenggara yang diadakan di Century Park Hotel di Jakarta, sebagai langkah menuju pengembangan pedoman umum untuk Asia Tenggara.
Lokakarya ini merupakan bagian dari program Measurable Action for Haze-Free Sustainable Land Management in Southeast Asia (MAHFSA), inisiatif bersama Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan International Fund for Agricultural Development(IFAD) yang berlangsung selama lima tahun. MAHFSA dijalankan secara kolaboratif oleh Sekretariat ASEAN, Global Environment Centre (GEC), dan Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF).
Lokakarya tersebut, yang diselenggarakan bersama dengan CIFOR-ICRAF, dilaksanakan secara hybrid, dengan partisipasi luring serta daring.
“Pemetaan dan memperkirakan area yang terbakar memberikan informasi penting untuk meningkatkan manajemen kebakaran, untuk memetakan risiko kebakaran hutan dan area antarmuka perkotaan, serta menilai jenis bahan bakar yang berbeda dan berubah, tingkatan bahaya kebakaran, indeks keparahan kebakaran, dan partisi musiman di seluruh lanskap untuk pemetaan bahaya kebakaran, ”kata Vong Sok, Kepala Divisi Lingkungan di Sekretariat ASEAN dalam pidato pembukaannya.
Emisi karbon
Kawasan ASEAN, yang meliputi 10 negara anggota, mengalami kebakaran hutan di berbagai lanskap. Dalam beberapa dekade terakhir, pembakaran vegetasi dan gambut untuk membuka lahan pertanian telah menyebabkan kebakaran besar yang mengeluarkan karbondioksida dalam jumlah besar dan mengganggu upaya global mengurangi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.
Sekitar 90% kebakaran hutan ini bersifat antropogenik, menghancurkan hutan dan lahan gambut yang menyimpan karbon, mengatur iklim, memasok air, mendukung keanekaragaman hayati, dan meningkatkan mata pencaharian.
Untuk merestorasi lahan dan mengurangi jumlah bencana kebakaran di masa mendatang, otoritas nasional perlu mengetahui dengan tepat ke mana mereka harus memfokuskan sumber daya, area pembakaran ilegal terjadi, dan bagaimana menghilangkan potensi hotspot atau titik panas yang mungkin muncul.
Pedoman ASEAN
Konsep untuk pedoman dan lokakarya muncul pada 2021, ketika kegiatan inventarisasi untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam produk pengetahuan tentang asap kebakaran dan lahan gambut di kawasan ASEAN mengungkapkan kurangnya informasi dan metodologi untuk memperkirakan dan memetakan area yang terbakar, menurut Michael Brady, Ilmuwan CIFOR-ICRAF yang ikut mengelola Program MAHFSA.
Di banyak daerah, titik panas menjadi pengganti dari daerah yang terbakar,” kata Brady. “Memetakan area yang terbakar menggunakan hotspot bukanlah pendekatan terbaik. Kami perlu memetakan area terbakar yang sebenarnya pada fase pasca-kebakaran untuk menghasilkan hasil yang akurat dan untuk mengetahui jenis tutupan lahan apa yang telah terbakar.”
Tim MAHFSA bertujuan untuk mengembangkan metodologi dan pendekatan operasional yang dikembangkan di Indonesia di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Organisasi Penelitian untuk Penerbangan dan Antariksa (ORPA-BRIN), Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memetakan area yang terbakar setiap tahun, menggunakan Landsat dan citra satelit lainnya.
Menurut peserta dari KLHK, Indonesia telah belajar mengenai kebakaran hutan dan lahan dari pengalaman sebelumnya. Bantuan teknis, seperti lokakarya ini, dan dukungan dari mitra dan pemangku kepentingan terkait penting untuk menangani kebakaran tersebut. Berjejaring sangat penting agar praktik terbaik, pengalaman, dan pelajaran yang dipetik dapat dibagikan secara rutin.
Hotspot dan blindspot
Citra satelit dan teknologi penginderaan jauh memberikan dukungan penting bagi badan meteorologi di negara-negara seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia, karena teknologi ini memungkinkan mereka untuk mempublikasikan informasi tingkat bahaya kebakaran dan mengoperasikan sistem deteksi titik panas.
ASEAN juga menggunakan satelit geostasioner dan satelit yang mengorbit kutub untuk citra kepulan asap, kabut asap, dan sisa luka terbakar yang hampir real-time, memberikan negara-negara anggota sebuah sistem peringatan dini dan peringatan tentang kabut lintas batas, ujar Gavin Yeap dari ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC).
Namun, pendeteksian titik panas hanya berguna sampai batas tertentu, karena tutupan awan dan keterbatasan teknologi satelit dapat membuat laporan jumlah kebakaran aktif tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan, menurut peserta lokakarya.
Hal ini menyebabkan betapa pentingnya kemampuan untuk memetakan dan memperkirakan area yang terbakar setiap tahun secara akurat. Dengan data andal yang dapat diverifikasi oleh pemeriksaan lapangan, pengelola kebakaran dapat mengembangkan alat untuk mengidentifikasi wilayah dengan risiko kebakaran hutan yang tinggi.
Memimpin tanggung jawab
Lokakarya tersebut mengungkapkan pendekatan tambal sulam untuk pemetaan dan mengestimasi area yang terbakar di seluruh wilayah. Sebagian besar anggota mengatakan pentingnya untuk melakukan lebih banyak pelatihan dan kolaborasi untuk menutup kesenjangan pengetahuan dan teknologi mereka. Pembicara termasuk Yoeung Visal dari Kementerian Lingkungan Hidup Kamboja, Nguyen Thanh dari Departemen Perlindungan Hutan Vietnam, dan Surassawadee Phoompanich dari Geo-Informatics and Space Technology Development Agency (GISTDA) Thailand.
Indonesia selangkah lebih maju dalam pendekatan pemetaan dan tampil sebagai pelopor di negara-negara ASEAN (Gambar 1).
Beberapa peserta menyampaikan bahwa evolusi kegiatan pemetaan area terbakar di Indonesia yang dilakukan sejak 2015, ketika Indonesia memulai inventarisasi sumber daya hutan tahunan. Hasilnya, dengan menggunakan citra satelit Landsat dan Sentinel-2, yang kini digunakan untuk perhitungan emisi gas rumah kaca, peta risiko kebakaran dan referensi spasial untuk menentukan lokasi patroli pemadam kebakaran preventif. Saat ini ada sekitar 4.000 desa rawan kebakaran di Indonesia yang telah dipetakan.
Indonesia juga menyediakan sistem informasi publik untuk hotspot, pemeriksaan lapangan, dan data lainnya, sambil menawarkan sistem peringatan kebakaran hutan terintegrasi dan interaktif yang disebut SPARTAN. Indonesia mendukung penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan SIPP Karhutla, sistem berbasis komputer yang dikembangkan untuk mengelola data dan informasi kegiatan patroli. Hampir 2.000 pemadam kebakaran nasional (Manggala Agni) berada di lapangan untuk melakukan verifikasi dan pemeriksaan lapangan.
Informasi area yang terbakar juga digunakan untuk tujuan penegakan hukum, memberikan bukti dalam kasus pengadilan yang menuntut pelaku pembakaran untuk membuka lahan.
“Para hakim dilatih untuk menggunakan informasi ini – saya tahu karena mereka datang ke laboratorium saya untuk melihat bagaimana semuanya bekerja,” kata Bambang Hero Saharjo, Direktur Eksekutif Pusat Sumber Daya Manajemen Kebakaran Regional – Asia Tenggara. “Ketika mereka melihat data satelit, tidak ada perdebatan karena Anda bisa melihat dari mana api berasal. Saat memutuskan hukuman, semuanya didasarkan pada bukti ilmiah.”
Selama satu dekade terakhir, Malaysia juga telah membuat kemajuan dalam mengoperasikan sistem informasi kebakaran hutan untuk memantau titik panas dan area yang terbakar sejak 2011. Kebakaran merupakan ancaman utama bagi hutan rawa gambut tropis di Malaysia, khususnya Hutan Rawa Gambut Pahang Tenggara. Saat ini, Malaysia menggunakan satelit SNPP dan NOAA-20 untuk mendeteksi titik panas dengan resolusi tinggi 375 meter.
Kebakaran tersembunyi
Namun demikian, produk standar yang tersedia saat ini perlu dipahami dengan lebih baik untuk menginterpretasikan dampak kebakaran secara akurat, menurut Mark Cochrane, Ilmuwan Senior di Pusat Ilmu Lingkungan Universitas Maryland. Karena tantangan dari celah orbit, asap, awan, geometri sensor, dan keterbatasan algoritme, sensor optik pada satelit seperti MODIS dan VIIRS gagal mengumpulkan data di wilayah ekuator hingga dua hari per minggu.
“Saat Anda tidak melihat api, bukan berarti tidak ada kebakaran,” kata Cochrane. “Itu bisa berarti Anda tidak mendapatkan gambar hari itu (Gambar 2). Kami menyebutnya produk harian, tetapi di wilayah khatulistiwa, ini adalah produk harian semu.”
Ada juga area dengan kebakaran kecil atau kebakaran besar di lahan gambut yang tidak cukup panas – atau tidak ada cukup area yang terbakar – untuk melepaskan energi yang cukup untuk diambil oleh sensor. Cochrane menunjukkan bagaimana pendeteksian VIIRS di Asia Tenggara selama lima hari berturut-turut berfluktuasi dari nol menjadi 117 kebakaran, menyoroti perlunya pemetaan area yang terbakar.
Semua sesi lokakarya memberikan kesempatan kepada para peserta untuk menyampaikan pendapat mereka melalui SLIDO, masukan ini akan membantu pembuatan pedoman yang diusulkan.
Peserta lokakarya sepakat untuk membentuk kelompok penyusun yang terdiri dari KLHK Indonesia dan ORPA-BRIN, Ministry of Agriculture and Rural Development of Vietnam (MARD) dan Ministry of Natural Resources and Environment of the Lao People’s Democratic Republic (MONRE). Program MAHFSA dan CIFOR-ICRAF akan memainkan peran koordinasi, dan Sekretariat ASEAN akan memberikan panduan.
Draf pedoman diharapkan akan selesai pada bulan Desember tahun ini, menurut peserta lokakarya.
_____
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Ahmad Dermawan (a.dermawan@cifor-icraf.org).
_____
Program “Measurable Action for Haze-Free Sustainable Land Management in Southeast Asia” atau MAHFSA adalah inisiatif bersama lima tahun antara ASEAN dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk mendukung upaya pengurangan polusi asap lintas batas dan dampaknya di Asia Tenggara. MAHFSA dilaksanakan secara kolaboratif oleh Sekretariat ASEAN, Global Environment Centre(GEC), dan Center for International Forestry Research (CIFOR).
The post Penurunan Kebakaran Hutan di Asia Tenggara Bergantung pada Pendekatan Pencegahan Regional appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Sonya Dewi begins tenure as new Asia Director
Dari Pengelolaan Hutan Berkelanjutan menuju Pemulihan
Collecte de données sur les tourbières dans les zones reculées du Congo Central
source https://forestsnews.cifor.org/82941/penurunan-kebakaran-hutan-di-asia-tenggara-bergantung-pada-pendekatan-pencegahan-regional?fnl=enid