Pasar karbon hutan memiliki peran penting dalam membantu pendanaan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) guna mencapai tujuan Perjanjian Paris.
Ketika perusahaan atau perorangan membeli kredit untuk menyeimbangkan jejak karbon mereka, uang tersebut sering digunakan untuk membiayai proyek yang bertujuan untuk memberikan manfaat lingkungan dan sosial di negara-negara berkembang. Hal ini berarti diperlukannya evaluasi dampak kondisi lingkungan dan sosial lokal dari proyek-proyek tersebut.
Namun, tugas ini cukup menantang karena ada banyak peraturan dan persyaratan yang kompleks untuk mengevaluasi dampak proyek pengimbangan karbon hutan terhadap pengurangan emisi, hal ini juga menjadi sorotan media pada awal tahun ini. Oleh karena itu, diperlukan prosedur akuntansi yang dapat diandalkan dan diverifikasi serta metodologi yang terkonsolidasi untuk mengukur, melaporkan, dan memverifikasi perubahan dalam emisi GRK untuk mengembangkan kebijakan mitigasi berbasis hutan yang efektif.
Pada 8 Juni 2023, sekelompok ahli mengambil bagian pada side event atau acara pendukung di Bonn Climate Change Conference (SBSTA 58) untuk membahas cara mengembangkan metode berintegritas tinggi yang memenuhi permintaan akan kredit karbon hutan, khususnya dari proyek dan program REDD+ yang berjalan di pasar karbon sukarela.
Acara tersebut diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), European Forestry Institute, dan Norwegian University of Life Sciences.
Di CIFOR-ICRAF, pasar dan proyek karbon hutan dianggap memiliki integritas tinggi ketika mereka dapat memenuhi beberapa kriteria yang tertanam dalam proyek evaluasi dampak REDD+:
Untuk dapat mengevaluasi dampak dari inisiatif REDD+ dan menetapkan kelebihannya, pasar karbon hutan yang berintegritas tinggi memerlukan informasi dasar atau baseline data yang realistis, yang berarti pengurangan atau penyerapan emisi tidak akan terjadi tanpa pendapatan dari penjualan kredit karbon. Selain itu, nilai kredit karbon harus dikurangi jika inisiatif tersebut hanya menunda, bukan secara permanen menghindari emisi, dan jika pengurangan emisi di satu tempat menyebabkan peningkatan emisi di tempat lain – sebuah konsep yang dikenal dengan kebocoran karbon.
“Secara mendasar, ada kontrak yang melibatkan beberapa pihak yang berjanji untuk mengurangi emisi karbon hutan, dan ada yang melibatkan pihak lain yang berjanji akan memberikan pengakuan, penghargaan atau kompensasi atas hal ini, sehingga kita memerlukan sistem akuntansi untuk melaksanakan kontrak tersebut,” jelas Erin Sills, profesor ekonomi hutan di North Carolina State University dan mitra senior CIFOR-ICRAF. “Namun, kita juga perlu memiliki sistem evaluasi dampak yang disiapkan untuk mengevaluasi sejauh mana kontrak-kontrak tersebut benar-benar membantu iklim.”
Selama sesi tersebut, Sills menyampaikan presentasi yang membandingkan metode-metode sistem akuntansi dan evaluasi dampak inisiatif REDD+, yang diilustrasikan oleh Studi Perbandingan Global (Global Comparative Study) tentang REDD+ CIFOR-ICRAF, yang mengumpulkan data dari 150 desa di enam negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Menurut Sills, pasar harus menggunakan studi evaluasi dampak untuk meningkatkan kepercayaan terhadap pengimbangan karbon sebagai mekanisme yang dapat diterapkan secara efektif dalam konservasi, seiring dengan perkembangan standar pemberian kredit yang menjadi lebih baik dan progresif ke depan.
Kevin Brown dari Wildlife Conservation Society (WCS) menyajikan Indeks Keutuhan Lanskap Hutan (Forest Landscape Integrity Index), yang mengintegrasikan data tekanan hutan yang diamati dan disimpulkan serta hilangnya konektivitas hutan. Berdasarkan kolaborasi antara berbagai universitas, lembaga, dan organisasi non-pemerintah, indeks ini menemukan bahwa hanya 40 persen hutan di dunia yang memiliki integritas tinggi.
Dalam presentasinya, Brown mengatakan, ‘REDD bukanlah sebuah utopia – ini adalah tanggap darurat. Pertanyaan tentang skala dan kecepatan sama pentingnya dengan integritas. Pendekatan baru pasar karbon sukarela secara dramatis meningkatkan prospek integritas dalam skala besar.”
Brown juga menjelaskan pentingnya mencapai dampak dalam skala besar melalui metodologi baru REDD yang terkonsolidasi, dengan demikian dapat menghilangkan hambatan biaya dan waktu dalam memulai proyek sambil meningkatkan kepercayaan investor terhadap proyeksi pendapatan.
Verra merupakan organisasi yang berbasis di Washington yang bertujuan untuk memberikan jaminan kualitas dalam pasar karbon sukarela melalui program Verified Carbon Standard (VCS) mereka. Saat ini, Verra sedang mengembangkan metodologi baru REDD untuk memastikan integritas akuntansi gas rumah kaca untuk proyek individu dalam suatu yurisdiksi, dengan menggunakan sains, data, dan teknologi terbaru yang tersedia.
Basanta Gautam, yang bertanggung jawab untuk mengelola inovasi teknis REDD+ di Verra, menjelaskan bahwa mengukur dampak pengurangan emisi merupakan tantangan yang kompleks dan membutuhkan kesabaran untuk menyempurnakan metode tersebut, seiring dengan pemahaman baru dan pembelajaran dari proses yang sedang berlangsung.
Menurutnya, metode-metode tersebut secara bertahap diperbaiki seiring waktu, dengan demikian memperkuat kepercayaan pada akuntansi karbon hutan.
Menurut Gautam, metodologi baru tersebut akan membantu melibatkan yurisdiksi dan pemerintah dengan membangun data aktivitas dasar yurisdiksi yang relevan dan menyelaraskan akuntansi proyek pada tingkat yurisdiksi.
Pendekatan yurisdiksi menjadi fokus implementasi REDD+ dalam Perjanjian Paris dan dapat menjadi dasar pasar karbon berbasis kepatuhan daripada hanya sukarela. Mereka diharapkan akan ditingkatkan dan belajar dari proyek-proyek lokal, di mana pengalaman-pengalaman tersebut telah dikompilasi dalam Studi Perbandingan Global tentang REDD+ CIFOR-ICRAF.
Hasil yang merata dan pelibatan Masyarakat Adat, yang mengelola lebih dari seperempat dari luas lahan dunia, juga merupakan komponen utama dari pasar karbon hutan yang memiliki integritas tinggi.
“Untuk karbon berintegritas tinggi, harus diakui bahwa Masyarakat Adat berhak memiliki hak kepemilikan atas tanah, termasuk karbon, dan berhak mendapatkan informasi dalam bahasa yang mereka pahami,” kata Asami Segundo, yang berasal dari komunitas budaya Masyarakat Adat Kalanguya-Ikalahan di Filipina dan memberikan bantuan teknis kepada International Land Coalition.
“Jika sistem pengelolaan hutan mereka yang efektif menyebabkan Masyarakat Adat tidak dapat mengakses keuangan karbon, apa mereka memiliki pilihan lain?” ujarnya.
Segundo mengatakan diperlukan untuk membuat mekanisme pendanaan untuk daerah-daerah dengan tingkat konservasi hutan yang tinggi dan tingkat deforestasi/degradasi yang rendah.
Dia menjelaskan bahwa tahun lalu dua wilayah adat di Filipina mencoba masuk ke pasar karbon tetapi paradoksalnya tidak memenuhi syarat untuk REDD+ karena tingkat deforestasi dan degradasi yang terlalu rendah akibat kepengurusan lahan yang efektif. Standar pemberian kredit saat ini tidak memberikan pendekatan untuk menunjukkan kelebihan nilai tambah dari pengelolaan yang sudah ada.
“Kredit karbon haruslah etis. Dalam arti, karbon yang memiliki integritas tinggi adalah karbon yang etis. Tidak ada keadilan iklim tanpa hak asasi manusia,” katanya.
Sven Wunder, Ilmuwan Utama di European Forestry Institute dan Mitra Senior CIFOR-ICRAF, menyajikan hasil dari meta-studi tentang efektivitas REDD+ dan menemukan bahwa, sama seperti alat konservasi lainnya, dampak hutan terlihat signifikan secara statistik, namun berskala kecil.
Menurut Wunder, REDD+ dapat memiliki dampak yang lebih besar jika kegiatan-kegiatan tersebut secara spasial ditargetkan pada area-area hutan yang memiliki ancaman tinggi dan kaya akan karbon. Hal ini mungkin termasuk area hutan yang sedang menghadapi ancaman langsung, seperti di “Gelombang Deforestasi” di Amazon (misalnya Mato Grosso, Acre, Para, Rondonia) atau di wilayah perbatasan hutan-pertanian lainnya (misalnya sebagian Kalimantan, Papua).
“Kinerja REDD setidaknya sebaik – atau seburuk – alat konservasi lainnya, tetapi analisis mengenai efektivitas biaya masih sedikit,” katanya. “Penelitian kami mengindikasikan beberapa rekomendasi desain dan implementasi untuk membuat tindakan REDD+ lebih efektif, yang juga diperlukan dalam perluasan skala yang saat ini sedang berlangsung ke tingkat yurisdiksi.”
Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Perbandingan Global tentang REDD+ CIFOR-ICRAF. Mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini termasuk Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad, Grant No. QZA-21/0124), International Climate Initiative (IKI) of the German Federal Ministry for the Environment (BMU, Grant No. 20_III_108), dan CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRPFTA) dengan dukungan finansial dari Para Donatur Dana CGIAR.
The post Metode Akuntansi Terbaru Bangun Kembali Kepercayaan pada Pasar Karbon Hutan appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Analizando la influencia de la infraestructura de transporte en la dinámica de deforestación
Le soutien des communautés, un élément incontournable pour la réussite des projets de carbone bleu
Palm oil stakeholders say more details needed on planned EUDR regulation, implications
source https://forestsnews.cifor.org/83612/metode-akuntansi-terbaru-bangun-kembali-kepercayaan-pada-pasar-karbon-hutan?fnl=enid