Sebuah laporan PBB menyebutkan, jumlah orang di seluruh dunia yang menghadapi kelaparan meningkat jadi lebih dari 122 juta orang sejak 2019 akibat pandemi COVID-19, perang Ukraina dan cuaca ekstrem.
Diperkirakan sebanyak 691 juta hingga 783 juta orang kekurangan makanan pada 2022, yang secara total memengaruhi 9,2% populasi global dibanding 7,9% pada 2019, setahun sebelum pandemi berawal. Hal ini dilaporkan dalam Status Keamanan Pangan dan Nutrisi Dunia (SOFI) 2023, yang disusun oleh lima badan PBB.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Dana Pembangunan Pertanian Internasional (IFAD), Dana Anak PBB (UNICEF), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Pangan Dunia (WFP) menyajikan pembaruan tahunan mengenai kemajuan dunia dalam mengakhiri kelaparan, mewujudkan keamanan pangan dan meningkatkan nutrisi.
Laporan 2023 menekankan pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB terkait penciptaan dunia bebas dari kelaparan pada 2030 yang berada dalam bahaya jika tren ini berlanjut. Diproyeksikan bahwa sekitar 600 juta orang akan mengalami kekurangan gizi kronis pada akhir dekade.
“Laporan terakhir SOFI menyoroti kebutuhan mendesak untuk membalikkan tren yang melemahkan kemampuan mewujudkan dunia tanpa kelaparan pada 2030,” kata Éliane Ubalijoro, Direktur Utama Pusat Penelitian Kehutanan dan World Agroforestri (CIFOR-ICRAF). “Bentang alam pohon, hutan dan agroforestri memainkan peran vital dalam proses ini, dengan membantu mengatasi kelindan tantangan kehilangan keanekaragaman hayati, perubahan iklim, keamanan pangan, penghidupan, dan ketidakadilan.”
Dalam membantu transformasi sistem pangan, CIFOR-ICRAF mempromosikan adopsi skala besar pendekatan agroekologi, termasuk strategi yang dipimpin petani untuk meningkatkan tutupan dan keragaman hutan lintas bentang alam pertanian. Dengan menyajikan bukti bagaimana hutan dan pohon berkontribusi pada diet masyarakat, didorong upaya meningkatkan kesadaran dan memengaruhi kebijakan nasional untuk memasukkan hutan dan pohon sebagai bagian dari sistem pangan nasional dan lokal.
“Laporan SOFI 2023 menunjukkan, dalam dunia dengan krisis berulang sebagai norma baru, meningkatkan resiliensi sistem agripangan menjadi prioritas,” kata David Laborde, Direktur Divisi Ekonomi Agripangan FAO (ESA). “Kehutanan memiliki peran kunci yang perlu dimainkan dalam sistem ini. Rentang aksi dan peluangnya besar: dari membantu regulasi aliran air dan mitigasi keparahan gelombang panas, hingga memberikan diversifikasi opsi pencaharian serta sistem produksi teringrasi yang lebih kuat.”
Meski terstabilkan pada 2022, kelaparan global terus meningkat di sejumlah negara rentan, khususnya di Afrika. Menangkap peluang yang diberikan hutan, baik dengan membangun kembali hutan di wilayah Sahel, atau menjaga jasa hutan di Afrika Tengah dan Timur merupakan bagian dari upaya membalikkan tren kelaparan di negara-negara tersebut, kata Laborde.
Sebagai upaya mengatasi lima tantangan global, CIFOR-ICRAF berkomitmen mentransformasi sistem pangan berbasis manajemen lahan berkelanjutan, keadilan hasil bagi masyarakat adat dan lokal, serta rantai pasok yang berbasis pada praktik baik lingkungan dan inklusi sosial.
Pohon dapat berkontribusi besar dalam mendorong produktivitas sistem pertanian dan kehidupan masyarakat desa, yang menyediakan sebagian besar pangan dunia. CIFOR-ICRAF memfasilitasi proses ini dengan membantu petani memilih pohon yang tepat di tempat yang tepat untuk tujuan yang tepat di lahan mereka dan mengelolanya secara efektif.
“Agroekologi memungkinkan petani melakukan budi daya pangan sekaligus menjaga kesehatan tanah dan meningkatkan resiliensi sistem pangan,” kata Fergus Sinclair, Kepala Ilmuwan CIFOR-ICRAF. “Dunia memproduksi cukup pangan untuk dua kali lipat populasi saat ini, namun jutaan orang masih kelaparan. Empasis lebih besar pada agroekologi, termasuk mengurangi kehilangan pangan dan sampah, bisa membantu pengambil keputusan mengatasi memburuknya krisis pangan global.”
Laporan SOFI 2023 menggarisbawahi bahwa agroekologi memiliki peran dalam mengakhiri kelaparan pada akhir dekade sembari menawarkan manfaat lain. Pada tingkat tapak, pertanian dan bentang alam, agroekologi dapat membantu meningkatkan pendapatan petani, mendorong keamanan pangan dan nutrisi, penggunaan air secara lebih efisien dan menyempurnakan daur nutrisi, selain konservasi keanekaragaman hayati dan menyediakan jasa lingkungan lain.
Menurut badan-badan PBB ini, sistem agripangan juga perlu dipandang lebih dari sekadar pembagian tradisional kota-desa. Terkait pertumbuhan pendudukan, kota kecil dan menengah, serta kota desa yang memperluas ruang keterhubungan wilayah desa dan kota besar, tercipta tantangan dan peluang untuk memastikan setiap orang mendapat akses pada diet sehat terjangkau.
The post Seiring Memburuknya Krisis Pangan, Tujuan PBB Mengakhiri Kelaparan pada 2030 Terancam Gagal appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Dari ‘Tidak Merusak’ menjadi ‘Lakukan Lebih Baik’: Pelajaran Awal dari Implementasi Perlindungan REDD+ di Indonesia
Deforestation-free palm oil is not an automatic win-win
Cinco consideraciones para marcos de salvaguardas REDD+ enfocados en pueblos indÃgenas y comunidades locales
source https://forestsnews.cifor.org/83730/seiring-memburuknya-krisis-pangan-tujuan-pbb-mengakhiri-kelaparan-pada-2030-terancam-gagal?fnl=enid