Minyak kelapa sawit yang multiguna dan dapat dikonsumsi dengan mudah bisa ditemukan pada adonan pizza hingga mi instan dan roti. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar terus mendorong produksi untuk memenuhi permintaan global.
Sektor sawit menjadi vital bagi ekonomi negara. Namun, sebagian produksi sawit dikaitkan dengan deforestasi dan hilangnya hutan yang kaya keanekaragaman hayati, serta memicu emisi gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim global.
Pada Mei 2023, CIFOR-ICRAF telah menyelenggarakan diskusi meja bundar untuk memetakan rencana minyak kelapa sawit berkelanjutan dalam rangka membangun rantai nilai berkelanjutan dan memastikan kemanfaatan perdagangan terhadap lingkungan hidup, seraya memperbesar manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Tantangannya adalah untuk memaksimalkan pembangunan dan kemanfaatan ekonomi dari sektor komoditas penting nasional, sekaligus meminimalkan dampak sosial dan lingkungan yang merugikan. Para pakar mendiskusikan perspektif dan jalan maju mengatasi tantangan tersebut, termasuk implementasi regulasi baru Uni Eropa yang melarang sejumlah komoditas untuk masuk pasar UE, termasuk minyak kelapa sawit yang diproduksi pada lahan terdeforestasi pasca 2020.
Lebih terencana
Berbicara pada lokakarya GCRF Trade, Development & the Environment Hub (TRADE Hub) yang dimaksudkan untuk mempromosikan perdagangan hijau dan mengatasi krisis iklim, para pakar mendiskusikan sorotan atas deforestasi dan peluang memitigasi emisi karbon di sektor ini. Mereka mencatat bahwa pemerintah, sektor swasta, peneliti, media dan masyarakat harus secara bersama memastikan perdagangan tetap adil, berkelanjutan dan bernilai ekonomi bagi masyarakat dalam jangka panjang.
Suria Tarigan dari IPB University, mencatat bahwa pada 2035, terdapat penambahan 12 juta ton dari tingkat produksi saat ini perlu dipenuhi untuk mencukupi permintaan. “Di masa depan, kita masih perlu meningkatkan produksi minyak sawit,” katanya, seraya menambahkan bahwa tanggung jawab harus dipikul oleh setiap orang di sepanjang rantai nilai dan perlunya peningkatan kapasitas petani.
Agar peta jalan produk minyak sawit menjadi berkelanjutan, perencanaan adalah kunci, katanya – mulai dari perencanaan khusus tingkat kabupaten hingga nasional. Kebijakan harus sejalan di seluruh level pemerintahan, dan masyarakat – adat desa dan kota – perlu disadarkan mengenai hak lahan dan batas untuk mengurangi konflik dan deforestasi, serta memberdayakan petani. “Menurut saya, legalitas merupakan hal terpenting alam asesmen keberlanjutan,” tambahnya.
Visi bersama
Tanya Payne, Staff Program UNEP-WCMC yang menyokong TRADE Hub, menyatakan bahwa peta jalan dan rencana aksi bisa berlandaskan pada lima jalan aksi yang diidentifikasi penting secara global sebagai pendorong perdagangan berkelanjutan: konsumsi, sistem produksi, pasar lokal-global, distribusi manfaat dan kebutuhan petani, serta mempertimbangkan kebutuhan konsumen, sektor swasta, sektor publik, petani, masyarakat desa, pengguna hutan, masyarakat sipil, media dan akademisi. “Setiap jalan perlu mempertimbangkan peran dan dampak pada tiap pemangku kepentingan,” paparnya. Visi bersama di seluruh pelaku, tambahnya, menjadi sangat penting bagi perdagangan adil dan berkelanjutan.
Herry Purnomo, Wakil Direktur untuk Program CIFOR-ICRAF Indonesia menyatakan konflik gagasan menjadi bagian penting dalam formulasi visi bersama. “Ini bukan peta jalan mengikat buatan pemerintah, kita semua bisa berkontribusi,” katanya. “Lebih berupa riset, kita memiliki fleksibilitas dan dialog. Dimiliki oleh semua kita yang berpartisipasi dalam lokakarya ini. Menjadi sebuah produk intelektual yang kita semua bisa berkontribusi dan memiliki. Kita bisa berkontribusi pada peta jalan ini, bukan semata proses mengikat dan formal, peta jalan ini diturunkan dari riset dan kita bisa berharap berkontribusi secara intelektual,” tambahnya.
Mengatasi kesenjangan
Herry Purnomo juga menyatakan bagaimana peta jalan harus memastikan kelapa sawit dapat berkontribusi menurunkan emisi melalui insentif dalam menghindari deforestasi, antara lain kredit karbon yang belum jelas di sektor sawit. “Penting untuk memastikan bahwa minyak sawit bisa berkontribusi menurunkan emisi. Insentif dalam kredit karbon belum jelas benar bagi minyak sawit – kita paham bahwa sebagian minyak sawit masih datang dari area terdeforestasi, baik langsung atau tidak langsung,” katanya.
Miftar Rahman dari IPB University memoderasi diskusi menggarisbawahi urgensi memastikan bahwa pandangan petani kecil direfleksikan dalam peta jalan, melengkapi prioritas dan kebijakan pemerintah dan mitra sektor swasta. Meningkatkan produksi tanpa memperluas wilayah perkebunan sawit akan berdampak pada petani, dan tiap masyarakat harus dilibatkan untuk memastikan keberlanjutan di sektor ini.
“Berbagi tanggung jawab juga harus tercipta. Kita juga perlu mempertimbangkan konsumen dan sektor swasta,” tambahnya meringkas diskusi, seraya mencatat visi peserta untuk “Minyak kelapa sawit legal dan berkelanjutan yang menciptakan kesejahteraan bagi petani, melindungi hutan dengan menghormati hak masyarakat adat dan lokal berlandaskan kolaborasi dan tanggung jawab bersama.”
Untuk informasi lebih dalam mengenai topik ini, hubungi Herry Purnomo di h.purnomo@cifor-icraf.org
Peta jalan tengah disusun di bawah GCRF Trade, Development & the Environment Hub (TRADE Hub) – sebuah konsorsium riset global yang dipimpin oleh Pusat Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan PBB (UNEP WCMC) dan didukung oleh Dana Riset Penelitian dan Inovasi Tantangan Global Inggris (UKRI GCRF).
The post Memetakan Masa Depan Sawit Lebih yang Berkelanjutan di Indonesia appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
New citizen science platform allows everyone to shape agroecological transitions
Dari ‘Tidak Membahayakan’ menjadi ‘Membuat Lebih Baik’: Pembelajaran Awal dari Implementasi Perlindungan REDD+ di Indonesia
Are REDD+ safeguards supporting community land, resource, and carbon rights?
source https://forestsnews.cifor.org/83753/memetakan-masa-depan-sawit-lebih-yang-berkelanjutan-di-indonesia?fnl=enid