Korea Selatan berfokus pada “karbon biru” mangrove dan lahan basah untuk membantu upaya mitigasi perubahan iklim karena wilayah hutan mereka telah mencapai batas dan secara perlahan kehilangan kemampuannya dalam menyimpan karbon karena usia pohon yang menua. Pendapat tersebut diungkapkan para peserta dalam simposium beberapa waktu lalu.
Pertemuan yang diselenggarakan di Pulau Jeju, Korea Selatan pada 19 Juni 2023 merupakan bagian dari upaya internasional untuk membangun jaringan global di antara para peneliti ekosistem pantai dan kemampuannya untuk menyerap karbon.
Para peserta dari Korea Selatan, Vietnam, dan Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) meneliti potensi beberapa spesies mangrove dari Indonesia yang akan ditanam di Jeju – pulau terbesar Korea Selatan – di mana spesies yang mirip mangrove telah tumbuh di sana dan mulai meluas.
Dalam symposium tersebut, Bae Jae Soo, Ketua South Korea’s National Institute of Forest Science (NIFoS) mengatakan, “Dalam 50 tahun mendatang, Korea harus bisa lebih dari sekadar hutan di daratan – yang disebut karbon hijau – yaitu memberikan perhatian pada “hutan laut”, seperti mangrove dan lahan basah pantai, yaitu karbon ‘biru’.” “Sistem ini menunjukkan menunjukkan suatu kemampuan luar biasa untuk menyerap dan memperbaiki karbon dan di saat yang sama melestarikan kehati pada ekosistem yang kondisinya kritis,” ujarnya.
Tahun ini menandai ulang tahun ke-50 dari implementasi 10 tahun pertama Rencana Rehabilitasi Hutan Korea Selatan, yang sudah mulai menampakkan keberhasilan dalam menghijaukan kawasan lahan terdegradasi yang terabaikan setelah Perang Korea.
Sejak tahun 1960, negara ini telah menumbuhkan sekitar 12 miliar pohon, yang menjadi hutan lebat yang menyerap 40 juta ton gas rumah kaca.
Berlawanan dengan itu, bagaimanapun, amat tidak masuk akal untuk meningkatkan lagi wilayah hutan karena nyaris setiap wilayah yang bisa dihutankan sudah berupa hutan. Di luar itu, tingkat pertumbuhan pohon yang ada kini menurun setiap tahun seiring usia. Ini berarti bahwa kemampuan menyimpan karbon tahunan juga menurun.
Ketua Pelaksana CIFOR-ICRAF, Robert Nasi mengatakan, “CIFOR-ICRAF dan NIFoS baru saja memulai proyek baru yang melibatkan Indonesia dan Korea.” “Hutan mangrove di Indonesia menyimpan karbon per hektare, tiga hingga lima kali lipat dari pada hutan tropis yang di darat; menyumbang 10-15% tempat penyimpanan karbon dari sedimen sementara wilayah pantai secara global menyumbang hanya 0,50%; menyimpan 3,4 miliar ton karbon atau sepertiga dari simpanan karbon di pantai secara global; dan menyediakan berbagai jenis barang dan jasa ekosistem untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia.
Bora Lee, peneliti NIFoS mengatakan, para ilmuwan mengevaluasi kemampuan menyimpan karbon dan mengukur daya serap karbon di habitat alam di Indonesia dan di rumah kaca “pintar” proyek di Pulau Jeju.
“Kami sedang mengevaluasi kemungkinan memperkenalkan mangrove dan mengidentifikasi lokasi potensial di Jeju dan mungkin di lain tempat,” ujar Lee.
Menteri Jasa Hutan Korea, Sung-Hyun Nam mengatakan, di beberapa wilayah pantai di Provinsi Jeju, spesies semi-mangrove seperti Hibiscus hamabo dan Paliurus ramosissimus tumbuh dan berkembang secara alamiah.
Menurut dia, “Dari kondisi skenario perubahan iklim saat ini, area total mereka akan meluas hingga pantai.” “Dalam konteks ini, symposium ini dirancang untuk menegaskan kembali pentingnya riset mangrove dan peran mangrove di tataran global dalam melawan perubahan iklim.”
Himlal Baral, pemimpin-bersama dari proyek riset dan ilmuwan restorasi hutan dan bentang alam dari tim Climate Change, Energy and Low Carbon Development CIFOR-ICRAF, menyoroti permintaan tinggi untuk jasa mangrove yang ditawarkan di Indonesia, terutama di daerah perikanan.
Dia mengatakan, “Kawasan mangrove secara luas terdegradasi bahkan gundul.” “Kunci untuk merestorasi jasa mangrove yaitu pelibatan komunitas lokal, terutama dalam pengembangan kultur-perairan (aquaculture).”
Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea Selatan juga melakukan riset “hutan laut”, di tetangganya, Vietnam, untuk mengembangkan potensi kultur perairan terkait mangrove dan daerah pedalaman. Dalam hal itu diperkirakan kemampuan fiksasi-karbon dari hewan bercangkang dalam sistem kultur-perairan lebih kurang 23 ton per kilometer persegi per tahun dibandingkan dengan 0,37-18 ton di daerah pasang-surut.
Menurut Dong Thi Bich Ngoc dan Tran Van Sang dari Dewan Manajemen Proyek Hutan Vietnam dalam symposium itu mengatakan, Di Vietnam, potensi mitigasi mangrove di negara itu adalah 4,4 juta ton karbon per tahun. Mangrove terutama tumbuh di delta Sungai Mekong dan Sungai Merah, namun area tersebut telah menurun luasannya, lebih dari 13.000 hektare dari tahun 1995-2019.
Mereka mengatakan, luasan hutan mangrove Vietnam mencapai lebih dari 150.000 hektare yang berpotensi bagi aktivitas implementasi untuk meningkatkan cadangan karbon di bawah mekanisme carbon-offset REDD+. Sementara itu, hamparan rumput laut melimputi lebih dari 15.000 hektare dan menyimpan 2,60-5,95 juta ton karbon. Namun demikian, dari 35 hamparan, sebagian besar dinyatakan kondisinya “terancam”.
Sebagai hasilnya, Pemerintah Vietnam berencana memperluas Skema Pembayaran untuk Jasa Ekosistem Hutan dengan memasukkan mangrove dan juga meningkatkan sistem aquaculture berkelanjutan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi Himlal Baral (h.baral@cifor-icraf.org) atau Bora Lee (boralee7208@korea.kr).
Studi penelitian “Mangrove carbon dynamics and ecosystem services” dilakukan di bawah Cooperative Research Agreement antara CIFOR-ICRAF dan National Institute of Forest Sciences of the Republic of Korea.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kapasitas serapan karbon dari mangrove asli Asia Timur dan untuk menemukan spesies-spesies yang kemungkinan tinggi akan sukses diaplikasikan di Korea, untuk disertifikasikan sebagai sumber-sumber penyerapan karbon di masa depan. Lebih dari itu, riset-riset ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik-karakteristik mangrove sesuai spesies, wilayah, dan kondisi habitat dan untuk meningkatkan kemampuan manajemen serta resimen penyebaran yang stabil di wilayah pertumbuhan yang paling sesuai.
The post Korea Selatan Berfokus pada Karbon Biru untuk Mitigasi Krisis Iklim appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
South Korea turns to blue carbon to help mitigate climate crisis
Protected: Améliorer La Résilience Climatique Dans Le Nord Du Cameroun
Una NDC para las turberas amazónicas de Perú
source https://forestsnews.cifor.org/83938/korea-selatan-berfokus-pada-karbon-biru-untuk-mitigasi-krisis-iklim?fnl=enid