Apakah sawit memang bertindah sebagai ‘demon’, atau ‘didemonisasi’? Untuk mengungkap perdebatan ini, satu tim peneliti menginvestigasi narasi ‘pro’ dan ‘kontra’ mengenai produksi minyak sawit. Telaah artikel terbaru mereka, Produksi minyak sawit, nilai instrumental dan relasional: perang kehumasan untuk hati, kepala, dan tangan di sepanjang rantai nilai, mengidentifikasi kendala komunikasi efektif dan menyatakan perlunya membangun dialog lebih baik menuju produksi sawit berkelanjutan.
Debat kelapa sawit berkelanjutan bisa jadi merupakan isu paling terpolarisasi terkait penggunaan lahan tropis. Di satu sisi, kritik menyoroti dampak negatif atas hutan hujan tropis, masyarakat dan keanekaragaman hayati. Di sisi lain, pendukung mengaitkan dengan potensi besar meningkatkan pendapatan petani dan penciptaan lapangan kerja. Topik ini menjadi debat panas dalam dekade terakhir, ‘komunikasi antara kubu ‘pro’ dan ‘kontra’ terbatas, karena sejak nilai dasar sudah menghalangi kepentingan untuk mendengar perspektif lain,” kata salah seorang penulis.
“Keruhnya perdebatan ini memerlukan distingsi lebih jernih antara tanaman itu sendiri dan bagaimana produksi dilakukan untuk mewujudkan sistem sawit berkelanjutan,” kata Andrew Miccolosi, salah seoerang penulis, serta Koordinator Nasional Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) di Brasil.
“Kuatnya asosiasi tanaman ini dengan kejahatan, sebagaimana terjadi pada sawit di sebagian dunia, dan kedelai di bagian lain, bisa terjadi karena mislabel. Ini bukan soal tanamannya, tetapi caranya diproduksi yang seharusnya menjadi fokus perhatian, karena dapat membuka ruang pemanfaatan sosial dan ekologis yang diharapkan dari potensi biologis spesies ini dalam lingkungan yang tepat.”
Kelompok peneliti menelaah elemen debat menggunakan kerangka Values of Nature (VoN), yang membedakan tiga tipe spesifik VoN – ‘relasional’ (orientasi harmonis), ‘intrinsik’ (orientasi hak), dan ‘instrumental’ (orientasi tujuan).
Para peneliti mengembangkan hubungan antar tipe VoN dan lima ‘sumbu moralitas’ kunci sebagaimana didefinisikan oleh Teori Landasan Moral (MFT) – Aman/bahaya, Adil/tidak adil, Otoritas/subversi, Libertarian/regulasi, Loyalitas/khianat, dan Sanksi/impunitas – serta mempertimbangkan bagaimana nilai dan moral tersebut menginformasi pandangan masyarakat mengenai sawit.
Mereka menulis, dari banyak contoh, kasus yang jelas mengenai bagaimana MFT dan VoN berkelindan pada pengambilan keputusan dalam arena kebijakan UE mengenai impor sawit. Mereka menjelaskan bagaimana pengambil kebijakan UE pada 2018 merespon – dan bertindak terhadap – pandangan negatif sawit sebagai penyebab utama deforestasi, yang terinformasi oleh sensasi kuat nilai intrinsik hutan hujan tropis. Voting UE untuk menghapus sawit dari program energi berkelanjutan (menjadi bukti nilai instrumental sumber daya alam) pada 2021 dan membatasi penggunaan pada tingkat konsumsi 2017.
Dengan membagi debat sawit ke dalam beragam sumbu moralitas, penulis menembukan bahwa dalam tiap sumbu, dimungkinkan terdapat landasan yang sama pada argumen ‘pro’ dan ‘kontra’ yang diakui – atau disangkal berdasarkan pada studi empiris lebih dalam atau asesmen bersama.
“Bagaimanapun, kecil kemajuan yang bisa diharapkan jika ‘bias’ atau rujukan [personal] non-netral dalam argumen di satu kolom (mis. manfaat ekonomi) dan sisi lain berargumen di kolom lain (mis. ketidakadilan sosial dan ancaman lingkungan),” katanya. “Timbal balik antara sumbu moralitas berbeda tidak terhindarkan dalam praktik pengambilan keputusan, dan merefleksikan posisi politis, dengan kompromi sesuai tingkat kepercayaan yang sayangnya sangat kurang dalam iklim politik saat ini. Kemajuan dalam menemukan kesamaan atau jalan tengah memerlukan langkah maju pada seluruh sumbu moralitas.”
Para penulis menyimpulkan bahwa mengklasifikasi perbedaan perspektif realitas dengan perbedaan aspek moralitas “memungkinkan munculnya pengetahuan dan pemahaman baru, melangkah ke arah efektivitas negosiasi dalam membangun inklusivitas rantai nilai sawit yang lebih menumbuhkan ekonomi, penghidupan petani, dan kesehatan lingkungan.”
The post Menelaah Pro dan Kontra dalam Debat Kelapa Sawit appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
New article on oil palm production analyzes the public debate
Public debate on oil palm under scrutiny in new article
El equilibrio ecológico de los Andes y la Amazonía es crucial para el clima y la humanidad
source https://forestsnews.cifor.org/85812/menelaah-pro-dan-kontra-dalam-debat-kelapa-sawit?fnl=enid